Rabu, 01 Juli 2015

Pengertian Teori Behavioristik dan Landasan Filosofinya

A.    Pengertian Teori Behavioristik dan Landasan Filosofinya
Teori belajar behavioristik adalah teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Teori Behavioristik merupakan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner. Kemudian teori ini berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori pendidikan dan pembelajaran yang dikenal dengan aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-respon, mendudukan orang yang belajar sebagai individu pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenal hukuman. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang paling penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupas respon.
Stimulus adalah segala hal yang diberikan oleh guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu sesuatu yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh pelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat perubahan tingkah laku tersebut terjadi atau tidak. Terdapat beberapa pandangan tokoh-tokoh tentang pendekatan behaviorisme yang dikemukan oleh beberapa ahli, diantara Pavlov, Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Masing-masing tokoh memberikan pandangan tersendiri tentang apa dan bagaimana behavioristik tersebut.
1.      Teori Pengkondisian Klasikal Pavlov
Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September  1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasae fsiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fsiologi pada insititute of Experimental Medicine dan memulai penelitian dengan mengenai fsiologi pencernaan.
Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Phisiology of Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikology behavioristi di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexs (1927). Classic conditioning adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan. Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya.
Untuk memahami teori kondisioning klasik secara menyeluruh perlu dipahami ada dua jenis stimulus dan dua jenis respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah stimulus yang tidak terkondisi (unconditioning stimulus-UCS), yaitu stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa didahului dengan pembelajaran apapun (contoh: suara bel sebelum makanan datang). Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan  rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang(anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara mengadakan operasi pipi pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air liurnya diluar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar, sedang sinar merah adalah rangsangan buatan. Tenyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat(kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut Refleks bersyarat atau Conditioned Respons. Pavlov berpendapat, bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunkan prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata ditemukan banyak reflex bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.
Melalui eksperimen tersebut Pavlov menunjukkan bahwa belajar dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
a.       Generalisasi, Deskriminasi, Pelemahan
Faktor lain yang juga penting dalam teori belajar pengkondisian klasik Pavlov adalah generalisasi, deskriminasi, dan pelemahan. Generalisasi dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa, anjing akan mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara yang mirip dengan bel, contoh suara peluit. Jadi, generalisasi melibatkan kecenderungan dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk menghasilkan respon serupa. Contoh, seorang peserta didik merasa gugup ketika dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran matematika. Ketika mempersiapkan ujian fisika, peserta didik tersebut akan merasa gugup karena kedua pelajaran sama-sama berupa hitungan. Jadi kegugupan peserta didik tersebut hasil generalisasi dari melakukan ujian mata pelajaran satu kepada mata pelajaran lain yang mirip.
Deskriminasi. Organisme merespon stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov memberikan makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang lain untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam menghadapi ujian dikelas yang berbeda, peserta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian bahasa Indonesia dan sejarah karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.
Pelemahan, proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus tak terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai makanan. Akhirnya, dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mengeluarkan air liur. Contoh, kritikan guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek, membuat peserta didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya peserta didik pernah mendapat nilai ujian yang bagus dan sangat termotivasi belajar.
Dalam bidang pendidikan, teori kondisioning klasik digunakan untuk mengembangkan sikap yang menguntungkan terhadap peserta didik untuk termotivasi belajar dan membantu guru untuk melatih kebiasaan positif peserta didik.
2.      Teori Koneksionisme Thorndike
Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-pwristiwa yang disebut stimulus(S) dengan respon(R). stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organism untuk bereaksi atau berbuat sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Dalam eksperimennya, Thorndike menggunakan kucing. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar (puzzle box) tersebut diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respon, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan dan kegagalan-kegagalan terlebih dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learing” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Dari percobaan ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
a.       Hukum kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu sehingga aosiasi cenderung diperkuat.
b.      Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku diulang/dilatih, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah koneksi antara kondisi dengan tindakan akan menjadi lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
c.       Hukum akibat adalah hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan. Hukum ini meunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil perbuatan. Sesuatu perbuatan yang disertai akibat sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi. Selain tiga hukum di atas Thorndike juga menambahkan hukum lainnya dalam belajar yaitu Hukum Reaksi Bervariasi , hukum sikap, hukum aktifitas berat sebelah, hukum respond an hukum perpindahan asosiasi.
3.    Teori Conditioning Watson
Watson merupakan seorang behavioris murni. Kajian Watson tentang belajar yang disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan diukur. Menurut Watson, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons. Dalam hal ini, stimulus yang dimaksud dibentuk dari tingkah laku yang dapat diamati dan dapat diukur. Watson mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seorang selama proses belajar dan ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan.
4.    Teori Systematic Behavior Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variable hubungan antara stimulus dan respons untuk menjelaskan pengertian tentang belajar. Dalam hal ini, ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemenuhan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia. Sehingga stimulus dalam belajar pun hamper selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respons yang mungkin akan muncul dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Hingga saat ini, teori Hull masih sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
5.    Teori Conditioning Edwin Guthrie
Demikan halnya dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan veriabel hubungan stimulus dan respons untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Menurut Edwin, stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Clark dan Hall. Dalam hal ini, hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu, dalam kegiatan belajar perlu diberikan sesering mungkin stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon cenderung bersifat lebih tetap.
Ia juga mengemukakan agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, sehingga diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respom tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan pentingnya penguatan dalam teori belajarnya, sehingga hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
Menurut Guthrie, tingkah laku manusia itu secara keselurahan merupakan rangkaian tingkah laku yang terdiri atas unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan respon-respon dari stimulus sebelumnya dan kemudian unit respon tersebut menjadi stimulus yang kemudian akan menimbulkan respon bagi unit tingkah laku yang berikutnya. Prinsip belajar pembentukan tingkah laku ini disebut “Law of Association”.
Menurut Guthrie, untuk memperbaiki tingkah laku yang buruk harus dilihat dari deretan unit-unit tingkah lakunya, kemudian diusahakan untuk menghilangkan atau mengganti unit tingkah laku yang tidak baik dengan tingkah laku yang seharusnya. Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori ini, yaitu :
a.    Metode respon bertentangan
b.    Metode membosankan
c.    Metode mengubah lingkungan
6.    Teori Operant Conditioning Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana dan dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara konprehensif. Menurut skinner, hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi m.lalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan yang lainnya, serta memahami respons yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respons tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya maasalah. Sebeb, setiap alat yang dipergunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya. Dari semua pendukung Teori behavioristik, Teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respon serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan oleh Skinner.
a.    Penguat
Menurut Skinner, untuk memperkuat prilaku atau menegaskan prilaku diperlukan suatu penguatan (reinforcement). Ada juga jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan negative.
1)      Penguatan positif (positive reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung penghargaan. Jadi, prilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti oleh stimulus menyenangkan. Contoh, peserta didik yang selalu rajin belajar sehingga mendapat rangking satu akan diberi hadiah sepeda oleh orang tuanya. Prilaku yang ingin diulang atau ditingkatkan adalah rajin belajar sehingga menjadi rangking satu dan penguatan positif/stimulus menyenangkan adalah pemberian sepeda.
2)      Penguatan negative (negative reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan meningkat karena diikuti dengan stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan. Jadi, prilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik sering bertanya dan guru menghilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan yang tidak berkenaan dihati guru sehingga peserta didik akan sering bertanya. Jadi, prilaku yang ing di ulangi atau ditingkatkan adalah sering bertanya dan stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan adalah kritikan guru sehingga peserta didik tidak malu dan akan sering bertanya karena guru tidak mengkritik pertanyaan yang tidak berbobot/melenceng.
b.      Hukuman
Hukuman yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya suatu prilaku. Jadi, prilaku yang tidak diharapkan akan menurun atau bahkan hilang karena diberikan suatu stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik yang berprilaku mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak diperiksa dan nilainya 0 (stimulus yang tidak menyenangkan/hukuman). Prilaku yang ingin dihilangkan adalah prilaku mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus yang tidak menyenangkan atau hukuman)
Perbedaan antara penguatan negatif dan hukuman terletak pada prilaku yang di timbulkan. Pada pemuatan negative, menghilangkan stimulus yang tidak menyenangakan untuk meningkatkan prilaku yang diharapkan. Pada hukuman, pemberian stimulus yang tidak menyenangkan nilai 0 untuk menghilangkan prilaku yang tidak diharapkan seperti prilaku mencontek.
c.       Jadwal pemberian penguatan
1)        Continuos reinforcement
Penguatan diberikan secara terus-menerus setiap pemunculan respon atau perilaku yang diharapkan. Contoh, setiap anak mau mengerjakan pr meskipun banyak yang salah, orang tua selalu menghilangkan kritikan yang tidak menyenangkan. Setiap anak mau membantu memakai sepatu sendiri ketika akan berangkat sekolah, orang tua selalu memuji dengan memberikan stimulus yang menyanangkan.
2)        artial reinforcement
Penguatan diberikan dengan menggunakan jadwal tertentu. Jadwal rasio tetap yaitu pemberian penguatan berdasarkan frekuensi atau jumlah respon dan timgkah laku tertentu secara tetap. Contoh : guru TK berkata “jika kalian sudah selesai mengerjakan 10 soal, kalian mendapat hadiah coklat.” Tanpa peduli jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal tersebut. Siswa mampu menyelesaikan 10 soal (jumlah prilaku yang diharapkan) dan mendapat hadiah permen(merupakan suatu penguatan). Dalam pembelajaran, pelaksanaan penguatan ini dapat ditingkatkan jumlah perilakunya secara bertahap, misalnya meningkat mulai 5 soal dapat dikerjakan mendapat satu penguatan, meningkat menjadi 10 soal mampu mengerjakan satu penguatan dan seterusnya. Akhirnya, peserta didik diharapkan mampu mengerjakan banyak soal dengan satu penguatan atau bahkan tanpa adanya penguatan. Sedangkan jadwal internal tetap yaitu pemberian penguatan berdasarkan jumlah waktu tertentu secara tetap. Contoh ini sangat cocok digunakan seorang ibu untuk melatih anak kecilnya agar mengurangi kebiasaan makan atau minum susu berlebihan.  Ibu berkata kepada susternya,”Si Badu hanya diberikan susu setiap 1 jam sekali”. Jadi, meskipun si badu menangis, karena belum 1 jam, suster tidak boleh memberikan susu. Minum susu setiap 1 jam sekali merupakan perilaku yang diharapkan dan pemberian susu oleh suster merupakan penguatan yang diberikan. Jumlah waktu bisa ditingkatkan menjadi setiap 2 jam, 3 jam sampai akhirnya menjadi 4 jam sekalipun.
Jadwal rasio variable merupakan pemberian penguatan berdasarkan perilaku, tetapi jumlah perilakunya tidak tetap. Contoh paling tepat adalah permainan anak-anak dengan cara memasukkan koin kemesin untuk mendapatkan sebuah hadiah. Anak tersebut tidak tau pada perilaku memasukkan koin yang keberapa kali, baru memperoleh hadiah. Contoh dalam pembelajaran adalah guru akan memberi nilai tambahan setiap peserta didik yang menjawab dengan benar. Peserta didik akan mencoba untuk menjawab belum tentu benar berkali-kali dan belum tentu mendapat tambahan nilai.
Jadwal interval variable yaitu pemberian penguatan pada suatu perilaku, tetapi jumlah waktunya tidak tetap yaitu tidak dapat ditentukan kapan waktu tersebut tidak tetap. Jika dalam penguatan jumlah perilakunya tetap, tetapi dalam perilaku jumlah waktunya tidak tetap. Contoh, guru secara acak melakukan pemeriksaan secara keliling dikelas terhadap pekerjaan peserta didik yang menjawab benar dan guru memberikan pujian setiap menemukan jawaban benar dari peserta didik. Peserta didik tidak tahu kapan guru menghampiri dan melihat pekerjaannya serta memujinya jika jawabannya benar. Karena peserta didik tidak tau kapan gurunya menghampiri, peserta didik tersebut selalu berusaha mengerjakan dengan benar setiap saat. Peserta didik mengerjakan benar setiap saat merupakan perilaku dan guru yang sempat menghampiri dan memberi pujian pada waktu yang tidak tetap merupakan penguatan
d.         Keefektifan hukuman
Hukuman hendaknya diberikan untuk prilaku yang sesuai. Terkadang hukuman diberikan terlalu berat, terlalu ringan, bahkan bentuk hukuman yang tidak ada kaitan dengan perilaku yang ingin dihilangkan. Contoh, peserta didik yang tidak mengerjakan PR harus keliling lapangan 10 kali merupakan hukuman yang tidak sesuai, mungkin hukuman yang cocok peserta didik diberikan pr yang lebih banyak daripada temannya dan lain-lain.
1)        Keunggulan Teori Behavioristik
a)             Teori ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
b)             Membiasakan guru untuk bersikap antusias dan peka pada situasi dan kondisi belajar
2)        Kelemahan Teori Behavioristik
1)        Pembelajaran siswa yang bersifat pada guru (teacher center learning), bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
2)        Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa baik hukuman verbal maupun fisik seperti kata-kata kasar, ejekan, dan jeweran yang justru berakibat buruk pada siswa.
B.     Pengertian Teori Aliran Kognitif
Teori belajar kognitif lebih menekankan pda proses belajar yang dilakukan oleh individu. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Belajar juga merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi dan aspek kejiwaan lainnya. Belajar menurut teori ini merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang komplekis. Berikut beberapa teori belajar yang termasuk dalam kognitif yaitu :
1.         Teori Gestalt
Teori gestalt dikembangkan oleh Koffka, Kohler dan Wertheimer. Menurut teori gestalt, belajar adalah proses mengenbangkan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yang menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistik, sehingga mengabaikan atau mengingkari peranan insight. Teori gestalt beranggapan bahwa insight dalah inti dari pembentukan tingkah laku. Insight yang merupakan inti dari belajar menurut teori gestalt memiliki cici-ciri sebagai berikut :
a.         Kemampuan insight seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut, sedangka kemampuan dasar itu tergantung kepada usia dan posisi yang bersangkutan dalam kelompoknya.
b.        Insight dipengaruhi atau tergantung kepada pengalaman masa lalunya yang relevan.
c.         Insight tergantung kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya.
d.        Pengertian merupakan inti dari insight. Melalui pengertian individu akan dapat memecahkan masalah. Pengertian itulah yang bisa menjadi kendaraan dalam memecahkan masalah lain pada situasi yang berlainan.
e.         Apabila insight telah diperoleh, maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam situasi lain. Di sini terdapat macam transfer belajar, namun yang ditransfer bukanlah materi yang dipelajari, tetapi relasi-relasi dan generalisasi yang diperoleh melalui insight.
Prinsip yang terdapat dalam teori belajar gestalt berdasarkan keseluruhan. Keseluruhan itu lebih memiliki makna dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan. Makna dari prinsip ini adalah pembelajaran itu bukanlah berangkat dari fakta-fakta. Akan tetapi musti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah itu maka siswa dapat mempelajari fakta.
1)        Anak yang belajar merupakan keseluruhan
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa membelajarkan bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Apa artinya kemampuan intelektual manakala tuidak diikuti sikap yang baik atau tidak diikuti oleh pengembangan seluruh potensi yang ada dalam diri. Oeleh karenanya mengajar bukanlah menumpuk memori kepada siswa dengan fakta-fakta yang begitu saja. Tetapi mengembangkan keseluruhan potensi yang ada dalam diri aanak.
a)        Belajar berkat insight
Belajar akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan. Belajar bukanlah mengahafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi akan mendapatkan insight yang berguna untuk menghadapi setiap masalah.
b)        Belajar berdasarkan pengalaman
Pengalaman adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi pengalaman-pengalaman masa lalu yang secara terus-menerus disempurnakan. Oleh karena itu pross pembelajaran adalah proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan individu.
2.          Teori Medan Kognitif (Lewin)
Teori medan kognitif dikembangkan oleh Kurt Lewin. Lewin memandang bahwa setiap individu berada di dalam medan kekuatan yang bersifat psikologis yang disebut dengan ruang hidup (life space), life space meliputi manivestasi lingkungan dimana siswa bereaksi, objek material yang dihadapi, serta fungsi kejiwaan yang dimilikinya. Belajar berlangsung sebagai akibat perubahan struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu merupakan hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognitif itu sendiri, yang lain dari kebutuhan motivasi internal individu.
Teori medan kognitif ini menjelaskan bahwa belajar adalah proses pemecahan masalah. Beberapa hal yang berkaitan dengan proses pemecahan masalah menurut Lewin dalam belajar adalah :
a.    Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah apabila bisa mengubah struktur kognitif.
b.    Motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku. Motivasi muncul karena adanya daya tarik tertentu. Disamping itu, motivasi juga bisa muncul karena pengalaman yang menyenangkan.
3.         Teori Perkembangan Piaget
Menurut Piaget dasar dari belajar adalah aktivitas anak apabila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dan lingkungan fisiknya. Melalui pertukaran ide-ide dengan orang lain, seorang anak tadinya memiliki pandangan subjektif terhadap sesuatu yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi objektif. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam struktur kegiatan mental yang disebut skema atau dalam bentuk jamak schemata. Skema merupakan abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu atau memecahkan sesuatu atau memecahkan masalah. Individu mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka pikir yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang akan membentuk pengetahuan structural individu. Pengetahuan structural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antar skema-skema tersebut.
Piaget menjelaskan bahwa struktur pengetahuan atau struktur kognitif yang dimiliki individu terjadi karena adanya proses adaptasi. Adaptasi adalah proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui dua proses yang tidak dapat dipisahkan yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi adalah proses menyatukan (mengintegrasian) informasi, persepsi, konsep dan pengalaman baru ke dalam pengalaman yang sudah ada dalam struktur kognitif individu. Akomodasi adalah penyesuaian atau penyusunan kembali skema dalam situasi yang baru. Informasi atau pengalaman baru diasimilasikan, mungkin saja tidak cocok dengan skema yang telah ada. Apabila dalam penyerapan informasi baru tidak cocok maka akan terjadi disekuilibrium yaitu ketidakseimbangan yang terjadi karena informasi yang masuk berbeda dengan struktur kognitifnya, secara sederhana dapat dikatakan bahwa disekuilbrium terjadi jika apa yang dihadapi berbeda dengan apa yang telah dipahami sebelumnya. Jika terjadi disekuilbrium, maka secara alamiah individu akan berupaya mengurangi ketidakseimbangan dan mengembangkan struktur kognitif baru atau mengadaptasikan struktur kognitif lama sampai terjadi keseimbangan lagi. Proses mengembalikan keseimbangan ini disebut ekoilibrasi.
Piaget menjelaskan bahwa perkembanagn kognitif mempunyai tiga unsur yaitu :
1)    Isi
Isi adalah apa yang telah diketahui yang menunjukkan kepada tingkah laku yang dapat diamati yang mengungkapkan aktivitas intelek. Isi intelegensi berbeda-beda dari umur ke umur dan dari anak ke anak.
2)    Fungsi
Fungsi menunjukkan kepada sifat dari aktivitas intelektual, asimilasi, dan akomodasi yang tetap dan terus-menerus dikembangkan sepanjang perkembangan kognitif.
3)    Struktur
Struktur menunjukkan pada sifat organisatoris yang dibentu (skemata) yang menjelaskan terjadinya perilaku khusus.
4.          Teori Kognitif Bruner
Pendekatan Bruner terhadap belajar didasarkan atas dua asumsi. Asumsi pertama ialah bahwa perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan paham para menganut teori behavior, Bruner yakin bahwa siswa yang belajar berinteraksi dengan lingkungan yang secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi dilingkungan, tetapi juga dalam diri jiwa sendiri. Asumsi kedua ialah bahwa siswa yang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya. Dengan menghadapi aspek dari lingkungan, siswa akan membentuk suatu struktur atau model. Dengan model tersebut dapat disusun hipotesis, untuk memasukkan pengethauan yang baru ke dalam sturktur-struktur dengan memperluas struktur itu atau dengan mengembangkan struktur atau sub struktur baru.
Bruner menyebutkan dalam belajar terdapat hal-hal yang mempunyai dengan kemiripan dihubungkan menjadi suatu struktur yang memberikan arti. Dalam proses interaksi dengan lingkungan maka siswa mengembangkan model dalam atau sistem koding untuk menyajikan pengetahuan sebagaimana yang diketahuinya.
Menurut Bruner, kategorisasi dapat membawa siswa ketingkat yang lebih tinggi daripada informasi yang diberikan. Siswa menentukan objek-objek itu dengan suatu kelas atau kelompok. Bila siswa mengklasifikasikan suatu objek, maka siswa membuat sekumpulan sifat-sifat, atribut-atribut dan hubungan. Siwa melakukan hal tersebut melalui inferensi, menemukan lebih banyak mengenai segala sesuatu tentang objek tersebut.
Bruner mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir bersamaan. Ketiga proses itu adalah yang pertama memperoleh informasi baru, yang kedua transformasi informasi, dan ketiga menguji relevansi dan ketepatan pengetahuaan. Informasi baru dapat merupakan pengharusan dan informasi sebelumnya yang dimiliki siswa, atau informasi itu bersifat sedemikian rupa sehingga berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki siswa.
Dalam transformasi pengetahuan, seorang siswa memperlakukan pengetahuan agar cocok atau sesuai dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara siswa memperlakukan pengetahuan apakan dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah menjadi bentuk lain. Siswa menguji relevansi dan ketetapan dan pengetahuan dengan menilai apakan cara siswa memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan tugas yang ada.
Bruner menyebutkan pandangan nya tentang belajar atau pertumbuhan kognitif sebagai konseptualisme instrumental. Pandangan ini berpusat pada dua prinsip yaitu pertama pengetahuan siswa tentang lingkungannya didasarkan pada model-model tentang kenyataan yang dibangunnya dan kedua model-model semacam itu mula-mula diadopsi dari kebudayaan siswa, kemudian model-model itu diadaptasikan pada kegunaan siswa yang bersangkutan.
Persepsi siswa tentang suatu peristiwa merupakan suatu proses konstruktif. Dalam proses ini, siswa menyusun suatu hipotesis dengan menghubungkan data inderanya pada model-model yang telah disusunya, lalu menguji hipotesisnya terhadap sifat-sifat tambahan dari peristiwa itu. Siswa itu tidak dipandang sebagai organism aktif yang pasif, tetpi sebagai seorang yang memlilih informasi secara aktif dan membentuk hipotesis konseptual.
5.         Teori Belajar Bermakna (Ausubel)
Ausubel mencetuskan gagasan belajar penerimaan verbal bermakna. Ausubel menyatakan bahwa cara belajar ini merupakan prose yang aktif karena meliputi yang pertama analisis kognitif untuk menentukan aspek struktur kognitif yang berhubungan dengan materi baru, kedua penyesuaian materi baru dengan struktur kognitif yaitu mengetahui persamaan dan perbedaan antara konsep baru dan konsep yang sudah diketahui sebelumnya, dan ketiga perumusan kembali materi belajar sesuai dengan latarbelakang intelektual serta kosakata yang dimiliki oleh siswa.
Dalam teori belajar ini, dasar pemikiran utama adalah bahwa konsep atau informasi baru harus berhubungan dengan konsep yang sudah ada dalam sturktur kognitif. Oleh karena itu, Ausibel menjelaskan faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna dan penyiapan informasi adalah struktur kognitif itu sendiri.
6.         Teori Belajar Gagne
Gagne menjelaskan belajar merupakan bukan sesuatu yang terjadi secara ilmiah tetapi hanya akan terjadi dengan adanya kondisi-kondisi tertentu yaitu kondisi yang pertama internal, yang antara lain menyangkut kesiapan siswa dan apa yang telah dipelajari sebelumnya. Eksternal merupakan situasi belajar dan penyajian stimuli yang secara sengaja diatur oleh guru dengan tujuan memperlancar proses belajar. Tiap-tiap jenis hasil belajar memerlukan kondisi-kondisi tertentu yang perlu diatur dan dikontrol. Secara khusus, Gagne menyatakan bahwa cara berpikir seseorang tergantung pada pertama keterampilan apa yang telah dimiliki, dan kedua keterampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas.
a.       Gagne mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar. Fase-fase tersebut merupkjan peristiwa-peristiwa eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa atau guru. Fase-fase menurut Gagne adalah: Fase motivasi, Fase pemahaman, Fase perolehan, Fase pengingatan, Fase pengungkapan kembali, Fase generalisasi, Fase penampilan, dan Fase umpan balik.
C.    Pengertian Teori Aliran Humanistik
Teori belajar humanistic memandang bahwa proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri. Menurut teori humanistik, tujuan belajara adalah untuk memanusiakan manusia. Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungan dan dirinya sendiri.
Teori belajar humanistic ini cenderung bersifat efektif dalam arti memanfaatkan teknik belajar apapun, asal tujuan belajar siswa dapat tercapai. Dengan kata lain teori apapun dapat dimanfaatkan asal tujuan untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi diri dapat tercapai. Dalam praktiknya teori ini antara lain terwujud dalam pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel dengan “belajar bermakna”.
1.      Teori Kolb
Kolb membagi tahapan belajar menjadi empat, yaitu :
a.       Pengalaman konkrit
Pada tahapan ini, seorang siswa hanya sekedar ikut mengalami suatu kejadia. Dalam hal ini belum mempunyai tentang hakikat kejadian tersebut dan belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu.
b.         Pengalaman aktif dan reflektif
Pada tahapan ini, siswa melakukan observasi aktif terhadap kejadian belajar, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya.
c.       Konseptualisasi
Pada tahapan ini, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau teori tentang sesuatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu membuat aturan umum dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.
d.        Eksperimental aktif
Pada tahap ini, siswa mampu mengaplikasikan suatu aturan umum kesituasi baru misalnya siswa tidak banyak memahami asal usul sebuah rumus tetapi ia mampu memakai rumus untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temukan.
1)        Teori Honey dan Mumford
Honey dan Mamford membagi empat tipe siswa yaitu :
a)      Tipe aktifis
Siswa dengan tipe aktifis sika melibatka diri pada pengalaman-pengalaman baru. Cenderung terbuka dan mudah diajak untuk berdialog. Dalam belajar menyukai metode yang mampu mendorong untuk menemukan hal-hal baru tetapi mereka cepat bosan dengan hal-hal yang memerlukan waktu lama dalam implementasi.
b)         Tipe reflector
Siswa dengan tipe reflector sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses pengambilan keputusan, cenderung konserpatif dalam arti mereka lebih suka menimbang-nimbang secara cermat baik buruk suatu keputusan sebelum bertindak.
c)          Tipe teoritis
Siswa dengan tipe teoritis sangat kritis, senang menganalisa, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang bersifat subjektif. Bagi tipe ini, berpikir secvara rasional adalah sesuatu yang sangat penting.
d)         Tipe pragmatis
Tipe ini menaruh perhatian besar pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Bagi tipe ini, sesuatu dikatakan ada gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktikkan.
2)         Teori Haberrmas
Hubermas meyakini bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi baik dengan lingkungan maupun dengan sesame manusia. Dengan asumsi ini, habermas membagi tiga tipe belajar yaitu :
a)        Belajar teknis
                  Siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha mengusai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan untuk itu.
b)        Belajar praktis
Siswa belajar berinteraksi tetapi pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara siswa dengan orang yang ada disekelilingnya. Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti pada suatu pemahaman yang kering dan terlepas dari kaitannya dengan manusia.
c)        Belajar emansipatoris
Siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan cultural dari suatu lingkungan. Pemanfaatan dan kesadaran terhadap transformasi kultural dianggap tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.
d)       Teori Vygotsky
Menurut vygotsky perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan kepada dua tingkat yaitu:
a.      Tingkat perkembangan actual
Tingkat perkembangan actual tamak dari perkembangan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas atau memcahkan berbagai masalah secara mandiri. Hal ini disebut Vygotsky dengan kemampuan intramental.
b.     Tingkat perkembangan potensial
Tingkat perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibawah bimbingan orang dewasa atau ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.
Jarak antara kedua kemampuan tersebut yaitu tingkat perkembangan actual dan potensial yang disebut dengn zona perkrmbangan progsima. Zona perkembangan progsima diartikan sebagai fungsi atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan.
e)        Teori Carl Rogers
Rogers mengatakan bahwa siswa yang belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan digiatkan belajar bebas, siswa diharapakan dapat mengambil keputusan sendiri dan berani bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang diambil sendiri. Dalam konteks tersebut, Rogers mengemukakan lima hal dalam proses belajar humanistik yaitu :
a.       Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar disebabkan adanya hasrta ingin tahu manusia yang terus-menerus terhadap dunia sekelilingnya dalam proses mencari jawabnya, seseorang mengalami aktivitas belajar.
b.        Belajar bermakna
Seseorang yang beraktivitas akan selalu menimbang apakah aktivitas tersebut mempunyai makna bagi dirinya. Jika tidak tentu tidak akan dilakukannya.
c.         Belajar tanpa hukuman
Belajar yang terbebas dari ancaman hukuman mengakibatkan anak bebas melakukan apa saja mengadakan eksperimentasi hingga menemukan sendiri sesuatu yang baru
d.        Belajar dengan Inisiatif Sendiri
Belajar dengan inisiatif sendiri menyiratkan tingginya motivasi internal yang dimiliki. Siswa yang banyak berinisiatif, mampu mengarahkan dirinya sendiri, menentukan pilihanya sendiri serta berusaha menimbang sendiri hal yang baik bagi dirinya.
e.         Belajar dan Perubahan
Dunia terus mengalami perubahan, karena itu siswa harus belajar untuk dapat menghadapi kondisi dan situasi yang terus berubah. Dengan demikian belajar yang hanya mengingat fakta atau menghafal sesuatu dipandang tidak cukup.
D.    Pengertian Aliran Konstruktivistik
Teori konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan pengetahuan oleh siswa itu sendiri. Pengetahuan ada dalam diri siswa yang sedang mengetahui. Oleh karena itu, pengetahuan merupakan hasil konstruksi yang dilakukan siswa. Menurut aliran konstruktivistik, pengetahuan dipahami sebagai suatu pembentukan yang terus- menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahamn-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah kemampuan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kontruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman maupun lingkungannya.
Adapun ciri-ciri belajar konstruktivistik adalah:
1.    Orientasi
Siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topic dengan memberi kesempatan melakukan observasi.
2.    Elisitas
Siswa mengungkapkan idenya dengan jalan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain-lain.
3.    Restrukturisasi
Klarifikasi ide dengan ide orang lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru.
4.    Penggunaan ide baru dalam berbagai situasi
Ide atau pengetahuan yang telah terbentuk perlu diaplikasikan pada berbagi macam situasi.
5.    Review
Dalam mengaplikasi pengetahuan gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah.
Peranan guru, menurut aliran konstruktivistik lebih sebagai mediator atau fasilitator bagi siswa, yang meliputi kegiatan sebagai berikut :
a.    Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, mengajar atau berceramah bukanlah tugas utama guru
b.    Menyediakan atau memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya.
c.    Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak.
E.     Pengertian Aliran Cybernetisme
Aliran cybernetisme memandang otak manusia aktif memproses informasi seperti halnya teknologi informasi alat komputer, namun manusia aktif mencari bukan hanya pasif menerima. Peserta didik menangkap rangsangan melalui pasca indranya, baik dalam bentuk objek benda, data, maupun peristiwa kemudian memperhatikan atau mengabaikan, memilih sebagian atau menerima seluruhnya dan membuat reaksi dengan membuat respon-respon.
Sebagai manusia, peserta didik mencari informasi untuk memecahkan masalah dengan cara mengorganisasikan apa yang telah diketahui dan mensintesiskan sehingga mengantarkannya pada kesimpulan dalam bentuk hasil belajar yang baru.
Fungsi mengajar adalah menarik perhatian peserta didik agar pikiran, fisik, dan sikapnya tertuju pada materi pembelajaran yang akan dibahas. Kesiapan peserta didik untuk belajar dibangun seawal mungkin dalam suatu proses pembelajaran, misalnya dengan mengkaitkan materi yang akan dibahas dengan materi yang sudah dikuasai peserta didik dan lebih difokuskan kepada pemahaman bukan pada hafalan. Pengajar perlu membantu peserta didik memisahkan bagian pelajaran yang sangat penting dari yang kurang penting menggunakan lambing-lambang menarik.
Pengajar perlu memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengurangi materi yang dipelajari sampai diyakini bahwa ia tidak akan melupakannya. Disamping pengulangan, pengajar perlu menyajikan materi dengan jelas melalui uraian, pengorganisasian materi yang runtut, dan symbol-simbol yang menarik sehingga peserta didik terhindar dari kesalahpahaman dan mengarahkan perhatiannya pada proses pembelajaran.
F.     Metode Student Center Learning
1.      Sistem Pembelajaran Di Indonesia
Pada saat ini ada dua model pembelajaran pada perguruan tinggi yaitu Teacher Centered Learning(TCL) dan student centered learning (SCL). Model pembelajaran yang dianut pada perguruan tinggi mulai mengalami perubahan yakni dari bentuk teacher centered learning (TCL) ke student centered learning (SCL). Faktor pertama yang mendukung perubahan model pembelajaran di perguruan tinggi tersebut dikarenakan adanya perubahan secara global meliputi persaingan yang semakin ketat yang di ikuti dengan perubahan orientasi lembaga pendidikan, yakni perubahan persyaratan kerja. Faktor kedua, karena adanya masalah yang semakin kompleks sehingga perlu disiapkann lulusan yang mempunyai kemampuan di luar bidang studinya.
Faktor ketiga karena perubahan cepat disegala bidang kehidupan sehingga diperlukan kemampuan generik atau tranferable skill. Sedangkan faktor keempat, kurikulum lama berdasarkan SK. Mendikbud No.056/U/1994 masih berbasis content.
Keempat faktor diatas mendukung pengembangan perguruan tinggi dari model TCL ke SCL dan sesuai dengan empat pilar pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Faktor ini mulai tampak bergerak untuk mengembangkan bahan kuliah dengan banyak membaca jurnal atau download artikel hasil-hasil terbaru dari internet, Jika mahasiswa mempunyai kreativitas tinggi, banyak bertanya atau sering mengajak diskusi.
2.      Pengertian Teacher Centered learning (TCL)
Di Indonesia sistem pembelajaran pada hamper semua program studi perguruan tinggi masih bersifat satu arah, yaitu pemberian materi oleh dosen yang dikenal dengan model TCL, yang ternyata membuat mahasiswa pasif karena hanya mendengarkan kuliah sehingga kreativitas mereka kurang tertupuk atau bahkan cenderung tidak kreatif. Pada model TCL, dosen lebih banyak melakukan kegiatan belajar-mengajar dengan bentuk ceramah (lecturing), sedangkan mahasiswa pada saat kuliah atau mendengarkan ceramah hanya sebatas memahami sambil membuat catatan, bagi yang merasa memerlukannya.
Dosen menjadi pusat peran dalam pencapaian hasil pembelajaran dan seakan-akan menjadi satu-satunya sumber ilmu. Model ini memberikan informasi satu arah karena yang ingin dicapai adalah bagaimana dosen bisa mengajar dengan baik sehingga yang ada hanyalah transfer pengetahuan.
Modifikasi model pembelajaran TCL telah banyak dilakukan, antara lain mengkombinasikan lecturing dengan Tanya jawab dan pemberian tugas namun hasil yang dihasilkan masih dianggap belum optimal. Pola pembelajaran dosen aktif dengan mahasiswa pasif ini mempunyai efektivitas pembelajaran rendah paling tidak bisa dilihat pada dua hal yakni dosen sering hanya mengejar target waktu untuk menghabiskan materi pembelajaran dan pada saat-saat mendekati ujian, dimana aktivitas mahasiswa “berburu’ catatan maupun literature kuliah, serta aktivitas belajar mereka mengalami kenaikan yang sangat signifikan pula setelah ujian selesai.
Dampak lain dari sistem pembelajaran TCL adalah dosen kurang mengembangkan bahan kuliah dan cenderung seadanya (monoton), terutama jika mahasiswanya cenderung pasif dan hanya sebagai penerima transfer ilmu.
3.      Pengertian Student Centered Learning(SCL)
Pada sistem pembelajaran SCL mahasiswa dituntut aktif megerjakan tugas dan mendiskusikanya dengan dosen sebagai fasilitator. Dengan aktifnya mahasiswa, maka kreativitas mahasiswa akan terpupuk. Kondisi tersebut akan mendorong dosen untuk selalu mengembangkan dan menyesuaikan materi kuliahnya dengan perkembangan ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang menyediakan banyak cara untuk mendapatkan informasi sumber belajar, memberikan peluang untuk mengembangkan metode-metode pembelajaran baru secara optimal sehingga mendukung upaya mewujudkan kompetensi yang diharapkan.
Kemajuan teknologi juga memungkinkan mahasiswa melakukan kegiatan belajat tidak hanya secara formal, tetapi belajar melalui berbagai media atau sumber. Dengan demikian dosen bukan lagi sebagai sumber belajar utama, melainkan sebagai “mitra pembelajaran”. Pada model pembelajaran SCL, berarti mahasiswa harus didorong untuk memiliki motivasi dalam diri mereka sendiri kemudian berupaya keras mencapai kompetensi yang diinginkan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara banyak berdiskusi, maka mahasiswa akan berani mengemukakan pendapat, belajar memecahkan masalah yang dihadapi dan tidak takut kepada dosen.
 Harapannya dengan diterapkan sistem pembelajaran SCL adalah mahasiswa aktif dan kreatif, menyelesaikan tugas akhir dengan lancar dan tepat waktu, karena konsultasi pada dosen tidak punya rasa takut, dengan harapan mahasiswa dapat menyelesaikan studi dengan target atau bahkan bisa lebih cepat dari standar waktu masa studi. Selanjutnya mahasiswa setelah lulus diharapkan mampu berkompetensi di dunia kerja.
SCL atau Student Centered Learning merupakan pendekatan dalam pembelajaran yang memfasilitasi pembelajar untuk terlibat dalam proses experiental learning. Bila pembelajar itu dapat dikategorikan ke dalam tipe-tipe activist, reflector, theorist, dan pragmatist, berarti pendekatan SCL tersebut merupakan metode yang dapat memfasilitasi pembelajar, dalam hal ini mahasiswa secara langsung ataupun tidak dapat terlibat dalam proses pembelajaran.
Model pembelajaran SCL, pada saat ini ini diusulkan menjadi model pembelajaran yang sebaiknya digunakan karena memiliki beberapa keunggulan yaitu (1) mahasiswa atau peserta didik akan dapat merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena mahasiswa diberi kesempatan yang luas untuk berpartisipasi (2) mahasiswa memiliki motivasi yang kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran (3) tumbuhnya suasana demokratsi dalam pembelajaran sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling belajar-membelajarkan diantara mahasiswa, dan (4) dapat menanmbah wawasan pikiran dan pengetahuan bagi dosen atau pendidik karena sesuatu yang dialami dan disampaikan mahasiswa mungkin belum diketahui sebelumnya oleh dosen. Keunggulan-keunggulan yang dimiliki model pembelajaran SCL tersebut akan mampu mendukung upaya kea rah pembelajaran yang efektif dan efesien  (Harsono,2009; Sudjana,2005)
4.      Penerapan SCL Pada Perguruan Tinggi
Penerapan SCL diperguruan tinggi dapat diartikan sebagai kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (faciliting, empowering, enabling), untuk mahasiswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar. Dengan demikian, pembelajaran merupakan proses pengembangan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa, serta dapat meningkatkan dan mengkonstruksikan pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan dan pengembangan yang baik terhadap materi perkuliahan (Dikti, 2004).
SCL adalah pembelajaran yang berpusat pada aktivitas pembelajaran mahasiswa, bukan hanya pada aktivitas dosen mengajar. Hal ini sesuai dengan model pembelajaran yang terprogram dalam desain FEE. Situasi pembelajaran dalam SCL di antaranya bercirikan:
1.      Mahasiswa belajar baik secara individu maupun berkelompok untuk mengemban pengetahuan, dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan teknologi yang dibutuhkan secara aktif daripada sekedar menjadi penerima pengetahuan secara pasif
2.       Dosen lebih berperan sebagai FEE dan guldes on the sides daripada sebagai mentor in the centered, yaitu membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan mentransfernya guna menemukan solusi terhadap permasalahan nyata sehari-hari, daripada sekedar sebagai gatekeeper of information
3.      Mahasiswa tidak sekedar kompeten dalam bidang ilmunya, tetapi juga kompeten dalam belajar. Artinya, mahasiswa tidak hanya menguasai isi matakuliahnya, tetapi mereka juga belajar tentang bagaimana berajar (how learn to learn), melalui discovery, inquiry, dan problem solving dan terjadi pengembangan.
4.      Belajar menjadi kegiatan komunitas yang difasilitasi oleh dosen, yang mampu mengelola pembelajaranya menjadi berorientasi kepada mahasiswa
5.      Belajar lebih dimaknai sebagai belajar sepanjang hayat (life long learning), suatu keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia kerja
6.      Belajar termasuk memanfaatkan teknologi yang tersedia, baik berfungsi sebagai alat untuk pemberdayaan mahasiswa dalam mencapai keterampilan utuh (intelektual, emosional, dan psikomotor) yang dibutuhkan (Randhani,2009).
Sebuah perguruan tinggi yang menerapkan metode pembelajaran dengan model SCL mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut :
a.       Adanya berbagai aktivitas dan tempat belajar
b.      Display hasil karya mahasiswa
c.       Tersedia banyak materi belajar
d.      Tersedia banyak tempat yang nyaman untuk diskusi dan bercengkrama
e.       Terjadi kelompok-kelompok dan interaksi multi angkatan
f.       Ada keterlibatan dunia bisnis dan masyarakat lainnya dan jam buka perpustakaan fleksibel (Hadi,2007)
Peran dosen dalam proses pembelajaran model SCL memiliki peran yang penting dalam pelaksanaan model ini yang meliputi bertindak sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, mengkaji kompetensi matakuliah yang perlu dikuasai mahasiswa di akhir pembelajara, merancang strategi dan lingkungan pembelajaran yang dapat menyediakan beragam pengalaman belajar yang diperlukan mahasiswa dalam rangka mencapai kompetensi yang dituntut matakuliah, membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan memprosesnya untuk dimanfaatkan dalam pemecahan masalah sehari-hari, mengidentifikasikan dan menentukan pola penilaian hasil belajar mahasiswa yang relevan dengan kompetensi yang akan diukur 9 Randhani, 2009).
Dalam pelaksanaan model pembelajaran ini mahasiswa juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting karena mahasiswa termasuk salah satu yang ikut untuk menentukan proses pembelajaran model ini berhasil atau tidak. Peran mahasiswa meliputi mengkaji kompetensi matakuliah yang dipaparkan dosen, mengkaji strategi pembelejaran yang ditawarkan dosen, membuat rencana pembelajaran untuk matakuliah yang diikuti, belajar secara aktif (dengan cara mendengar, membaca, menulis, diskusi dan terlibat dalam pemecahan masalah serta lebih penting lagi terlibat dalam kegiatan berpikir tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis dan evaluasi, baik secara individu maupun kelompok (Hadi,2007)
Agar pembelajaran model SCL dapat diimplementasikan secara efektif dan efesien, maka perguruan tinggi juga mempunyai peranan, sebagai berikut:
1)      Mengkaji kurikulum, program pembelajaran dan sistem penilaian hasil belajar yang mengacu pada SCL
2)      Membuat kebijakan tentang sosialisasi dan penerapan SCL di institusinya
3)      Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk terlaksananya SCL dengan menciptakan networking dengan dunia kerja, lembaga-lembaga masyarakat, atau instansi terkait
4)      Membenahi pola piker pada dosen dan pengelola program pendidikan pada umumnya tentang pentingnya mengubah paradigm mengajar berorientasi pada dosen semata pada pola pembelajaran yang berorientasi pada mahasiswa yang dicirikan dengan adanya interaksi yang positif dan konsstruktif antara dosen dan mahasiswa dalam membangun pengetahuan.
5)      Melatih dan memberikan dukungan yang penuh kepada para dosen dalam menerapkan SCL dalam proses pembelajaran.
6)      Memanfaatkan perencanaan pembeajaran yang berorientasi SCL, yang dikembangkan para dosen, dalam pengadaan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran.
7)      Menciptakan sistem yang memungkinkan dosen dan seluruh civitas akademika dapat berkomunikasi dan berkoordinasi serta akses terhadap Ilmu Teknologi (IT) (Randhani,2006).
Pemahaman peran dari ketiga elemen utama proses pembelajaran sebagaimana diuraikan diatas, akan mampu mendukung efektivitas metode-metode pembelajaran yang masuk dalam kalsifikasi model pembelajaran SCL. Adapun metode-metode yang dimaksud adalah small group discussion, role-play, simulation, case study, discovery learnig, self directed learning, cooperative learning, collaborative learning, contextual learning, project based learning, dan problem based leaning and inquiry (Dikti,2009)
5.      Penerapan Problem Based Learning sebagai Salah Satu Bentuk SCL
Dari 10 metode diatas problem based learning (PBL) sudah diterapkan pada beberapa fakultas kedokteran di Indonesia sesuai denga arahan dari Dikti. Di beberapa Negara terutama di Inggris sudah diterapkan pada berbagai disiplin ilmu termasuk di bidang pendidikan jasmani dan olahraga. Dari hasil penelitian Duncan pada 2006 dan 2007 menunjukkan bahwa penerapan PBL pada pendidikan pada pendidikan jasmani dan olahraga memberikan hasil yang baik. Peningkatan mutu proses pembelajaran berbasis SCL dalam bentuk PBL memberikan peningkatan suasana akademik yang sehat dan kondusif serta mempersingkat masa studi, meningkatkan IPK, meningkatkan kemampuan problem solving, dan mempersingkat lama waktu penyelesaian tugas akhir.

Program pengembangan peningkatan suasana akademi yang sehat dan kondusif bertujuan meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam penelitian, pertemuan ilmiah bersama dosen, pengembangan kapasitas dosen di bidang penulisan dan publikasi ilmiah, meningkatkan kuantitas dan kualitas pengabdian masyarakat dosen bersama mahasiswa, pengembangan study club dan media komunikasi.
6.      Pendekatan SCL Pada pembelajaran
Student Center learning (SCL) merupakan metode pembelajaran yang memberdayakan peserta didik menjadi pusat perhatian selama proses pembelajaran berlangsung. Pembelajaran yang bersifat kaku instruksi dari pendidik dirubah menjadi pembelajaran yang memberi kesempatan pada peserta didik menyesuaikan dengan kemampuannya dan berperilaku langsung dalam menerima pengalaman belajarnya.
Landasan pemikiran dari SCL adalah teori belajar konstruktivis (Weswood Petter,2008:26). Prinsip teori konstruktivis berasal dari teori belajar yang dikembangkan oleh Jean Piaget (1983), Jerome Brewner (1961), dan John Dewey (1933), yaitu memusatkan proses pembelajaran pada perubahan perilaku peserta didik itu sendiri dan dialami langsung untuk membentuk konsep belajar dan memahmi. Selanjutnya, konsep pengalaman belajar dari segitiga Dale membuktikan bahwa belajar memahami sendiri pada kondisi nyata atau sebenarnya dan mengendalikan proses belajarnya merupakan pemenuhan pengalaman belajar yang lebih baik disbanding belajar dengan mengamati.
Pendekatan metode SCL (student center learning) mempunyai ciri-ciri antara lain :
1.         Peserta didik harus aktif terlibat dalam proses belajar yang dipicu dari motivasi instrinsik
2.         Topik, isu, atau subjek pembelajaran harus menarik dan memicu motivasi insintrik.
3.         Pengalaman belajar diperoleh melalui suasana yang nyata atau sebenarnya dan relevan dengan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dan digunakan ditempat kerja
Pembelajaran praktek dipoliteknik tujuannya untuk memberi pengalaman belajar peserta didik agar menguasai keterampilan bidang keahlian tertentu. Penguasaan keterampilan baik keterampilan yang bersifat fisik, maupu intelektual melibatkan aktivitas peserta didik secara langsung menggunakan peralatan yang sejenis dengan perlalatan sebenarnya selama proses pembelajaran berlangsung. Penggunaan peralatan dalam suasana belajar yang sesuai dengan kondisi nyata atau sebenarnya didunia kerja dan penggunaan strategi demonstrasi untuk penyampaiannya menunjukkan ciri-ciri pembelajaran SCl. Tiga aspek dalam pembelajaran yang menuntut kinerja keterampilan adalah motorik, persepsual, dan kognitif (Kevin O’Neil,1997:76)
7.      Metode Pembelajaran Dalam Student Centered Learning(SCL)
Pada edisi sebelumnya telah dipaparkan konsep SCL. Sudah dipaparkan pula manfaat konkrit jika kita menerapkan SCL. SCL diperlukan karena konsekuensi penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), proses pembelajaran yang sesuai dengan SCL. SCL juga diperlukan untuk mengantisispasi dan mengakomodasi perubahan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, teknologi dan lingkungan yang menyebabkan informasi dalam buku teks dan artikel-artikel yang ditulid lebih cepat kadaluarsa.
Selain iu, dimasa mendatang, dunia kerja membutuhkan tenaga kerja yang berpendidikan baik, yang mampu bekerja sama dalam tim, memiliki kemampuan memecahkan masalah secara efektif, mampu memproses dan memanfaatkan informasi, serta mampu memanfaatkan teknologi secara efektif dalam pasar global, dalam rangka meningkatkan produktivitas. Oleh sebab itu, proses pembelajaran harus difokuskan pada pemberdayaan dan peningkatan kemampuan mahasiswa dalam berbagai aspke ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Mahasiswa sebagai subjek pembelajaran, yang perlu diarahkan untuk belajar secara aktif membangun pengetahuan dan keterampilannya dengan cara bekerjasama dan berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait.
Untuk dapat menerapkan SCL ini dengan baik, sebelumnya kita akan bahas satu-persatu metode-metode tersebut.
a.          Small Group Discussion
Diskusi merupakan salah satu elemn belajar secara aktif dan merupakan bagian dari banyak model pembelajaran SCL yang lain seperti CL, CBL, PBL dan lain-lain. Di dalam kelas atau tutorial kita dapat meminta para mahasiswa untuk membuat kelompok kecil untuk mendiskusikan bahan yang dapat diberikan oleh dosen atupun bahan yang diperoleh sendiri oleh anggota kelompok tersebut.
Metode ini dapat digunakan ketika akan menggali ide, menyimpulkan pon penting, mengakses tingkat skill dan pengetahuan mahasiswa, mengkaji kembali topic dikelas sebelumnya, membandingkan teori, isu dan interprestasi, dapat juga untuk menyelesaikan masalah.
Mahasiswa akan belajar untuk menjadi pendengar yang baik, berkerjasama untuk tugas bersama, memberikan dan menerima umpan balik yang konstruktif, menghormati perbedaan pendapat, mendukung pendapat dengan bukti, serta menghargai sudut pandang yang bervariasi.
b.         Simulation
Simulasi adalah model membawa situasi yang mirip dengan sesungguhnya ke dalam kelas. Misalnya simulasi sebagai seorang manajer atau pemimpin, mahasiswa diminta untuk membuat perusahaan fiktif, kemudian di minta untuk berperan sebagai manajer atau pemimpin dalam perusahaan tersebut.
Simulasi ini dapat berbentuk permainan peran (role playing). Simulasi ini sendiri dapat mengubah cara pandang mahasiswa dengan cara mempraktekkan kemampuan umum, mempraktekkan kemammpuan khusus, mempraktekkan kemampuan tim, mengembangkan kemampuan menyelesaikan masalah, dan mengembangkan kemampuan empati
c.          Discovery learnig (DL)
DL adalah metode belajar yang difokuskan pada pemanfaatan informasi yang tersedia, baik yang diberikan dosen maupun yang dicari sendiri oleh mahasiswa, untuk membangun pengetahuan dengan cara belajar mandiri.
Metode ini dapat dilakukan misalnya dengan memberikan tugas-tugas kepada mahasiswa untuk memperoleh bahan ajar dari sumber-sumber yang dapat diperoleh melalui internet atau melalui buku, Koran, dan majalah.
d.         Self Directed Learning (SDL)
SDL adalah proses belajar yang dilakukan atas inisiatif individu sendiri. Mahasiswa sendiri yang merencanakan, melaksanakan dan menilai sendiri terhadap pengalaman belajar yang telah dijalani, dilakukan semuanya oleh individu yang bersangkutan.
Peran dosen dalam metode ini hanya bertindak sebagai fasilitator, yang memberi arahan, bimbingan dan konfirmasi terhadap kemajuan belajar yang telah dilakukan mahasiswa tersebut.
Manfaat dari metode ini adalah menyadarkan dan memberdayakan mahasiswa, bahwa belajar adalah tanggung jawab mereka sendiri. Mahasiswa didorong untuk bertanggung jawab terhadap semua fikiran dan tindakan yang dilakukannya.
Untuk dapat menerapkan metode ini, sebelumnya kita harus dapat memenuhi asumsi bahwa kemampuan mahasiswa semestinya bergeser dari orang yang tergantung pada orang lain menjadi individu yang mampu belajar mandiri.
e.          Cooperative Learning(CL)
CL merupakan metode belajar kelompok yang dirancang oleh dosen untuk memecahkan suatu masalah atau kasus. Kelompok ini terdiri dari atas beberapa orang mahasiswa yang memiliki kemampuan akademik yang beragam.
Metode ini sangat terstruktur, karena pembentukan kelompok, materi yang dibahas, langkah-langkah diskusi serta produk akhir yang harus dihasilkan, semuanya ditentukan dan dikontrol oleh dosen. Mahasiswa hanya mengikuti prosedur diskusi yang dirancang oleh dosen. CL bermanfaat untuk membantu menumbuhkan dan mengasah kebiasaan belajar aktif pada diri mahasiswa, rasa tanggungjawab individu dan kelompok mahasiswa, kemampuan dan keterampilan bekerjasama antara mahasiswa, dan keterampilan sosial mahasiswa.
f.          Contextual Instruction (CI)
CI adalah konsep belajar yang membantu dosen mengaitkan isi mata kuliah dengan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari dan memotivasi mahasiswa untuk membuat keterhubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari sebagai anggota masyarakat, pelaku kerja professional atau manajerial, entrepreneur, maupun investor.
Contoh apabila kompetensi yang dituntut matakuliah adalah mahasiswa dapat menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi proses transaksi jual beli, maka dalam pembelajaranya, selain konsep transaksi ini dibahas dalam kelas, juga diberikan contoh dan mendiskusikanya. Mahasiswa juga diberi tugas dan kesempatan untuk terjun langsung dipusat-pusat perdagangan untuk mengamati secara langsung proses transaksi jual beli tersebut.
g.         Collaborative Learning(CbL)
CbL adalah metode belajar yang menitikberatkan pada kerja sama antar mahasiswa yang didasarkan pada consensus yang dibangun sendiri oleh anggota kelompok. Masalah dan tugas atau kasus memang berasal dari dosen dan bersifat open ended, tetapi pembentukan kelompok yang didasarkan pada minat, prosedur kerja kelompok, penentuan waktu dan tempat diskusi atau kerja kelompok, sampai dengan bagaimana hasil diskusi yang ingin dinilai oleh dosen, semuanya ditentukan melalui consesnsus bersama antar anggota kelompok.
h.         Project-based Learning (PjBL)
PjBL adalah metode belajar yang sistematis, yang melibatkan mahasiswa dalam belajar pengetahuan dan keterampilan melalui proses pencarian, penggalian yang panjang dan terstruktur terhadap pernyataan yang otentik dan kompleks serta tugas dan produk yang dirancang dengan sangat hati-hati.
i.           Problem-based Learning/Inquiry (PBL/I)
PBL/I adalah belajar dengan memanfaatkan masalah dan mahasiswa harus melakukan pencarian informasi untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Pada umumnya terdapat empat langkah yang perlu dilakukan mahasiswa dalam PBL/I yaitu:
1)      masalah Menerima masalah yang relevan dengan salah satu/beberapa kompetensi yang dituntut mata kuliah, dari dosennya
2)      Melakukan pencarian data dan informasi yang relevan untuk memecahkan masalah
3)      Menata data dan mengaitkan data dengan masalah
4)      Menganalisis strategi pemecahan
8.      Manfaat SCL (Student Centered Learning)
1)   Meningkatkan prestasi serta kemampuan mahasiswa dalam dasar-dasar pembelajaran
2)   Meningkatkan peran dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran
3)   Meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam belajar mandiri agar dapat mempelajari hal-hal lain lebih lanjut secara mandiri sehingga mahasiswa menjadi pembelajar seumur hidup(lifelong leaners)
4)    Meningkatkan soft skill mahasiswa, yang meliputi :
a)        Kemauan untuk berkerja keras, tidak sekedar pasif dalam belajar
b)        Kemampuan bekerja mandiri, karena peran dosen hanya sebagai tutor, mahasiswa dituntut belajar mandiri berdasarkan arahan yang diberikan.
c)        Kemampuan bekerja dalam tekanan
d)       Kemampuan berpikir analitis, dalam praktikum mahasiswa akan membuat analisa-analisa penting dalam membangun perusahaan
e)        Kemampuan mahasiswa berdiskusi secara logid dan bertanggung jawab (memformulasikan pertanyaan yang berkualitas tentang suatu subjek, menjawab pertanyaan menggunakan berbagai metode, mengungkapkan pendapat dan berargumentasi secara logis, kejujuran dalam menilai jawaban atas pertanyaan sendiri maupun pertanyaan teman, kemampuan untuk menerima dan mengelola perbedaan pendapat).
f)         Meningkatkan kemampuan technopreneurship mahasiswa. Hal ini diperoleh dengan praktikum.

1 komentar: