A.
Pengertian Teori Behavioristik dan Landasan
Filosofinya
Teori belajar behavioristik adalah
teori belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia sebagai akibat dari
interaksi antara stimulus dan respon. Teori Behavioristik merupakan sebuah
teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner. Kemudian teori ini berkembang
menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap pengembangan teori
pendidikan dan pembelajaran yang dikenal dengan aliran behavioristik. Aliran
ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus-respon, mendudukan orang yang belajar sebagai individu pasif.
Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
penguatan dan akan menghilang bila dikenal hukuman. Seseorang dianggap telah
belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori
ini dalam belajar yang paling penting adalah input yang berupa stimulus dan
output yang berupas respon.
Stimulus adalah segala hal yang
diberikan oleh guru kepada pelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses
yang terjadi antara stimulus dan respon tidak dapat diamati dan tidak dapat
diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon. Oleh karena itu sesuatu
yang diberikan oleh guru (stimulus) dan sesuatu yang diterima oleh pelajar
(respon) harus dapat diamati dan diukur.
Teori ini mengutamakan pengukuran,
sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat perubahan tingkah
laku tersebut terjadi atau tidak. Terdapat beberapa pandangan tokoh-tokoh
tentang pendekatan behaviorisme yang dikemukan oleh beberapa ahli, diantara
Pavlov, Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skiner. Masing-masing
tokoh memberikan pandangan tersendiri tentang apa dan bagaimana behavioristik
tersebut.
1. Teori Pengkondisian Klasikal Pavlov
Ivan
Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849
di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi
seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminari
Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasae fsiologi.
Pada tahun 1884 ia menjadi direktur departemen fsiologi pada insititute of Experimental
Medicine dan memulai penelitian dengan mengenai fsiologi pencernaan.
Ivan Pavlov meraih penghargaan
nobel pada bidang Phisiology of Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai
pengkondisian sangat mempengaruhi psikology behavioristi di Amerika. Karya tulisnya
adalah Work of Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexs (1927). Classic
conditioning adalah proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap
anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat
secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.
Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat
terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang
dilihat dari perilakunya.
Untuk memahami teori kondisioning
klasik secara menyeluruh perlu dipahami ada dua jenis stimulus dan dua jenis
respon. Dua jenis stimulus tersebut adalah stimulus yang tidak terkondisi
(unconditioning stimulus-UCS), yaitu stimulus yang secara otomatis menghasilkan
respon tanpa didahului dengan pembelajaran apapun (contoh: suara bel sebelum
makanan datang). Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku
manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diinginkan. Kemudian Pavlov mengadakan
eksperimen dengan menggunakan binatang(anjing) karena ia menganggap binatang
memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya,
secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.
Ia mengadakan percobaan dengan cara
mengadakan operasi pipi pada seekor anjing. Sehingga kelihatan kelenjar air
liurnya diluar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air
liur anjing tersebut. Kini sebelum makanan diperlihatkan, maka yang
diperlihatkan adalah sinar merah terlebih dahulu, baru makanan. Dengan
sendirinya air liurpun akan keluar pula. Apabila perbuatan yang demikian
dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya memperlihatkan
sinar merah saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar pula.
Makanan adalah rangsangan wajar,
sedang sinar merah adalah rangsangan buatan. Tenyata kalau perbuatan yang
demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan
syarat(kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini
disebut Refleks bersyarat atau Conditioned Respons. Pavlov berpendapat, bahwa
kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev murid Pavlov menggunkan
prinsip-prinsip tersebut dilakukan pada manusia, yang ternyata ditemukan banyak
reflex bersyarat yang timbul tidak disadari manusia.
Melalui eksperimen tersebut Pavlov
menunjukkan bahwa belajar dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
a. Generalisasi,
Deskriminasi, Pelemahan
Faktor lain yang juga penting dalam
teori belajar pengkondisian klasik Pavlov adalah generalisasi, deskriminasi,
dan pelemahan. Generalisasi dalam mempelajari respon terhadap stimulus serupa,
anjing akan mengeluarkan air liur begitu mendengar suara-suara yang mirip
dengan bel, contoh suara peluit. Jadi, generalisasi melibatkan kecenderungan
dari stimulus baru yang serupa dengan stimulus terkondisi asli untuk
menghasilkan respon serupa. Contoh, seorang peserta didik merasa gugup ketika
dikritik atas hasil ujian yang jelek pada mata pelajaran matematika. Ketika
mempersiapkan ujian fisika, peserta didik tersebut akan merasa gugup karena
kedua pelajaran sama-sama berupa hitungan. Jadi kegugupan peserta didik
tersebut hasil generalisasi dari melakukan ujian mata pelajaran satu kepada
mata pelajaran lain yang mirip.
Deskriminasi. Organisme merespon
stimulus tertentu, tetapi tidak terhadap yang lainnya. Pavlov memberikan
makanan kepada anjing hanya setelah bunyi bel, bukan setelah bunyi yang lain
untuk menghasilkan deskriminasi. Contoh, dalam menghadapi ujian dikelas yang
berbeda, peserta didik tidak merasa sama gelisahnya ketika menghadapi ujian
bahasa Indonesia dan sejarah karena keduanya merupakan subjek yang berbeda.
Pelemahan,
proses melemahnya stimulus yang terkondisi dengan cara menghilangkan stimulus
tak terkondisi. Pavlov membunyikan bel berulang-ulang, tetapi tidak disertai
makanan. Akhirnya, dengan hanya mendengar bunyi bel, anjing tidak mengeluarkan
air liur. Contoh, kritikan guru yang terus menerus pada hasil ujian yang jelek,
membuat peserta didik tidak termotivasi belajar. Padahal, sebelumnya peserta
didik pernah mendapat nilai ujian yang bagus dan sangat termotivasi belajar.
Dalam
bidang pendidikan, teori kondisioning klasik digunakan untuk mengembangkan
sikap yang menguntungkan terhadap peserta didik untuk termotivasi belajar dan
membantu guru untuk melatih kebiasaan positif peserta didik.
2.
Teori
Koneksionisme Thorndike
Menurut Thorndike, belajar
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi antara peristiwa-pwristiwa
yang disebut stimulus(S) dengan respon(R). stimulus adalah suatu perubahan dari
lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organism untuk
bereaksi atau berbuat sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang
dimunculkan karena adanya perangsang. Dalam eksperimennya, Thorndike
menggunakan kucing. Dari eksperimen kucing lapar yang dimasukkan dalam sangkar
(puzzle box) tersebut diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus
dan respon, perlu adanya kemampuan untuk memilih respon yang tepat serta
melalui usaha-usaha atau percobaan-percobaan dan kegagalan-kegagalan terlebih
dahulu. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial and error learning atau
selecting and connecting learing” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu.
Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering
disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Dari percobaan
ini Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
a. Hukum
kesiapan yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh suatu perubahan tingkah
laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan individu
sehingga aosiasi cenderung diperkuat.
b. Hukum latihan yaitu semakin sering tingkah laku
diulang/dilatih, maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of
exercise adalah koneksi antara kondisi dengan tindakan akan menjadi lebih kuat
karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan. Sehingga prinsip dari hukum ini menunjukkan bahwa
prinsip utama dalam belajar adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi
pelajaran akan semakin dikuasai.
c. Hukum akibat adalah hubungan stimulus respon cenderung
diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya
tidak memuaskan. Hukum ini meunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi
sebagai hasil perbuatan. Sesuatu perbuatan yang disertai akibat sebaliknya,
suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak menyenangkan cenderung dihentikan dan
tidak akan diulangi. Selain tiga hukum di atas Thorndike juga menambahkan hukum
lainnya dalam belajar yaitu Hukum Reaksi Bervariasi , hukum sikap, hukum
aktifitas berat sebelah, hukum respond an hukum perpindahan asosiasi.
3.
Teori
Conditioning Watson
Watson
merupakan seorang behavioris murni. Kajian Watson tentang belajar yang
disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat
berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh dapat diamati dan
diukur. Menurut Watson, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan
respons. Dalam hal ini, stimulus yang dimaksud dibentuk dari tingkah laku yang
dapat diamati dan dapat diukur. Watson mengakui adanya perubahan-perubahan mental
dalam diri seorang selama proses belajar dan ia menganggap hal-hal tersebut
sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan.
4. Teori Systematic Behavior Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan
variable hubungan antara stimulus dan respons untuk menjelaskan pengertian
tentang belajar. Dalam hal ini, ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang
dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua
fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup
manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan
pemenuhan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia. Sehingga stimulus dalam belajar pun hamper selalu
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respons yang mungkin akan muncul
dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori demikian tidak
banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner
memperkenalkan teorinya. Hingga saat ini, teori Hull masih sering dipergunakan
dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
5. Teori Conditioning Edwin Guthrie
Demikan
halnya dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan veriabel hubungan stimulus dan
respons untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Menurut Edwin, stimulus
tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Clark dan Hall. Dalam hal ini, hubungan antara
stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara. Oleh sebab itu, dalam
kegiatan belajar perlu diberikan sesering mungkin stimulus agar hubungan antara
stimulus dan respon cenderung bersifat lebih tetap.
Ia
juga mengemukakan agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan
menetap, sehingga diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan
respom tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman memegang peranan penting
dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu
merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Setelah Skinner mengemukakan dan
mempopulerkan pentingnya penguatan dalam teori belajarnya, sehingga hukuman
tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
Menurut
Guthrie, tingkah laku manusia itu secara keselurahan merupakan rangkaian
tingkah laku yang terdiri atas unit-unit. Unit-unit tingkah laku ini merupakan
respon-respon dari stimulus sebelumnya dan kemudian unit respon tersebut
menjadi stimulus yang kemudian akan menimbulkan respon bagi unit tingkah laku
yang berikutnya. Prinsip belajar pembentukan tingkah laku ini disebut “Law of Association”.
Menurut
Guthrie, untuk memperbaiki tingkah laku yang buruk harus dilihat dari deretan
unit-unit tingkah lakunya, kemudian diusahakan untuk menghilangkan atau
mengganti unit tingkah laku yang tidak baik dengan tingkah laku yang
seharusnya. Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori ini, yaitu :
a.
Metode
respon bertentangan
b.
Metode
membosankan
c.
Metode
mengubah lingkungan
6.
Teori
Operant Conditioning Skinner
Konsep-konsep
yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu mengungguli konsep-konsep
lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep
belajar secara sederhana dan dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara
konprehensif. Menurut skinner, hubungan antara stimulus dan respons yang terjadi
m.lalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan
perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh
sebelumnya. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar
perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan yang
lainnya, serta memahami respons yang mungkin dimunculkan dan berbagai
konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respons tersebut.
Skinner juga mengemukakan bahwa, dengan menggunakan perubahan-perubahan mental
sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya
maasalah. Sebeb, setiap alat yang dipergunakan perlu penjelasan lagi, demikian
seterusnya. Dari semua pendukung Teori behavioristik, Teori Skinnerlah yang
paling besar pengaruhnya. Program-program pembelajaran seperti Teaching
Machine, Pembelajaran berprogram, modul, dan program-program pembelajaran lain
yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respon serta mementingkan
faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan
program-program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan
oleh Skinner.
a.
Penguat
Menurut
Skinner, untuk memperkuat prilaku atau menegaskan prilaku diperlukan suatu
penguatan (reinforcement). Ada juga
jenis penguatan, yaitu penguatan positif dan penguatan negative.
1) Penguatan positif (positive
reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan
meningkat karena diikuti oleh suatu stimulus yang mengandung penghargaan. Jadi,
prilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti oleh stimulus
menyenangkan. Contoh, peserta didik yang selalu rajin belajar sehingga mendapat
rangking satu akan diberi hadiah sepeda oleh orang tuanya. Prilaku yang ingin
diulang atau ditingkatkan adalah rajin belajar sehingga menjadi rangking satu
dan penguatan positif/stimulus menyenangkan adalah pemberian sepeda.
2) Penguatan negative (negative
reinforcement) didasari prinsip bahwa frekuensi dari suatu respon akan
meningkat karena diikuti dengan stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin
dihilangkan. Jadi, prilaku yang diharapkan akan meningkat karena diikuti dengan
penghilangan stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik sering
bertanya dan guru menghilangkan/tidak mengkritik terhadap pertanyaan yang tidak
berkenaan dihati guru sehingga peserta didik akan sering bertanya. Jadi,
prilaku yang ing di ulangi atau ditingkatkan adalah sering bertanya dan
stimulus yang tidak menyenangkan yang ingin dihilangkan adalah kritikan guru
sehingga peserta didik tidak malu dan akan sering bertanya karena guru tidak
mengkritik pertanyaan yang tidak berbobot/melenceng.
b. Hukuman
Hukuman
yaitu suatu konsekuensi yang menurunkan peluang terjadinya suatu prilaku. Jadi,
prilaku yang tidak diharapkan akan menurun atau bahkan hilang karena diberikan
suatu stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh, peserta didik yang berprilaku
mencontek akan diberikan sanksi, yaitu jawabannya tidak diperiksa dan nilainya
0 (stimulus yang tidak menyenangkan/hukuman). Prilaku yang ingin dihilangkan
adalah prilaku mencontek dan jawaban tidak diperiksa serta nilai 0 (stimulus
yang tidak menyenangkan atau hukuman)
Perbedaan antara penguatan negatif
dan hukuman terletak pada prilaku yang di timbulkan. Pada pemuatan negative,
menghilangkan stimulus yang tidak menyenangakan untuk meningkatkan prilaku yang
diharapkan. Pada hukuman, pemberian stimulus yang tidak menyenangkan nilai 0
untuk menghilangkan prilaku yang tidak diharapkan seperti prilaku mencontek.
c. Jadwal
pemberian penguatan
1)
Continuos reinforcement
Penguatan diberikan secara
terus-menerus setiap pemunculan respon atau perilaku yang diharapkan. Contoh,
setiap anak mau mengerjakan pr meskipun banyak yang salah, orang tua selalu
menghilangkan kritikan yang tidak menyenangkan. Setiap anak mau membantu
memakai sepatu sendiri ketika akan berangkat sekolah, orang tua selalu memuji
dengan memberikan stimulus yang menyanangkan.
2)
artial reinforcement
Penguatan diberikan dengan
menggunakan jadwal tertentu. Jadwal rasio tetap yaitu pemberian penguatan berdasarkan
frekuensi atau jumlah respon dan timgkah laku tertentu secara tetap. Contoh :
guru TK berkata “jika kalian sudah selesai mengerjakan 10 soal, kalian mendapat
hadiah coklat.” Tanpa peduli jumlah waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
soal tersebut. Siswa mampu menyelesaikan 10 soal (jumlah prilaku yang
diharapkan) dan mendapat hadiah permen(merupakan suatu penguatan). Dalam
pembelajaran, pelaksanaan penguatan ini dapat ditingkatkan jumlah perilakunya
secara bertahap, misalnya meningkat mulai 5 soal dapat dikerjakan mendapat satu
penguatan, meningkat menjadi 10 soal mampu mengerjakan satu penguatan dan
seterusnya. Akhirnya, peserta didik diharapkan mampu mengerjakan banyak soal
dengan satu penguatan atau bahkan tanpa adanya penguatan. Sedangkan jadwal
internal tetap yaitu pemberian penguatan berdasarkan jumlah waktu tertentu
secara tetap. Contoh ini sangat cocok digunakan seorang ibu untuk melatih anak
kecilnya agar mengurangi kebiasaan makan atau minum susu berlebihan. Ibu berkata kepada susternya,”Si Badu hanya
diberikan susu setiap 1 jam sekali”. Jadi, meskipun si badu menangis, karena
belum 1 jam, suster tidak boleh memberikan susu. Minum susu setiap 1 jam sekali
merupakan perilaku yang diharapkan dan pemberian susu oleh suster merupakan
penguatan yang diberikan. Jumlah waktu bisa ditingkatkan menjadi setiap 2 jam,
3 jam sampai akhirnya menjadi 4 jam sekalipun.
Jadwal
rasio variable merupakan pemberian penguatan berdasarkan perilaku, tetapi
jumlah perilakunya tidak tetap. Contoh paling tepat adalah permainan anak-anak
dengan cara memasukkan koin kemesin untuk mendapatkan sebuah hadiah. Anak
tersebut tidak tau pada perilaku memasukkan koin yang keberapa kali, baru
memperoleh hadiah. Contoh dalam pembelajaran adalah guru akan memberi nilai tambahan
setiap peserta didik yang menjawab dengan benar. Peserta didik akan mencoba
untuk menjawab belum tentu benar berkali-kali dan belum tentu mendapat tambahan
nilai.
Jadwal interval variable yaitu
pemberian penguatan pada suatu perilaku, tetapi jumlah waktunya tidak tetap
yaitu tidak dapat ditentukan kapan waktu tersebut tidak tetap. Jika dalam
penguatan jumlah perilakunya tetap, tetapi dalam perilaku jumlah waktunya tidak
tetap. Contoh, guru secara acak melakukan pemeriksaan secara keliling dikelas
terhadap pekerjaan peserta didik yang menjawab benar dan guru memberikan pujian
setiap menemukan jawaban benar dari peserta didik. Peserta didik tidak tahu
kapan guru menghampiri dan melihat pekerjaannya serta memujinya jika jawabannya
benar. Karena peserta didik tidak tau kapan gurunya menghampiri, peserta didik
tersebut selalu berusaha mengerjakan dengan benar setiap saat. Peserta didik
mengerjakan benar setiap saat merupakan perilaku dan guru yang sempat
menghampiri dan memberi pujian pada waktu yang tidak tetap merupakan penguatan
d.
Keefektifan hukuman
Hukuman hendaknya diberikan untuk
prilaku yang sesuai. Terkadang hukuman diberikan terlalu berat, terlalu ringan,
bahkan bentuk hukuman yang tidak ada kaitan dengan perilaku yang ingin
dihilangkan. Contoh, peserta didik yang tidak mengerjakan PR harus keliling
lapangan 10 kali merupakan hukuman yang tidak sesuai, mungkin hukuman yang
cocok peserta didik diberikan pr yang lebih banyak daripada temannya dan
lain-lain.
1)
Keunggulan
Teori Behavioristik
a)
Teori
ini cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi
peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru, dan
senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau
pujian.
b)
Membiasakan
guru untuk bersikap antusias dan peka pada situasi dan kondisi belajar
2)
Kelemahan
Teori Behavioristik
1)
Pembelajaran
siswa yang bersifat pada guru (teacher center learning), bersifat mekanistik
dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan diukur.
2)
Murid
hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang
didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman
sebagai salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa baik hukuman verbal maupun
fisik seperti kata-kata kasar, ejekan, dan jeweran yang justru berakibat buruk
pada siswa.
B.
Pengertian Teori Aliran Kognitif
Teori belajar
kognitif lebih menekankan pda proses belajar yang dilakukan oleh individu.
Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat
terlihat sebagai tingkah laku yang tampak. Belajar juga merupakan suatu proses
internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi dan aspek
kejiwaan lainnya. Belajar menurut teori ini merupakan aktivitas yang melibatkan
proses berpikir yang komplekis. Berikut beberapa teori belajar yang termasuk
dalam kognitif yaitu :
1.
Teori Gestalt
Teori gestalt dikembangkan oleh
Koffka, Kohler dan Wertheimer. Menurut teori gestalt, belajar adalah proses
mengenbangkan insight. Insight adalah pemahaman terhadap hubungan antar bagian
di dalam suatu situasi permasalahan. Berbeda dengan teori behavioristik yang
menganggap belajar atau tingkah laku itu bersifat mekanistik, sehingga
mengabaikan atau mengingkari peranan insight. Teori gestalt beranggapan bahwa
insight dalah inti dari pembentukan tingkah laku. Insight yang merupakan inti
dari belajar menurut teori gestalt memiliki cici-ciri sebagai berikut :
a.
Kemampuan
insight seseorang tergantung kepada kemampuan dasar orang tersebut, sedangka
kemampuan dasar itu tergantung kepada usia dan posisi yang bersangkutan dalam
kelompoknya.
b.
Insight
dipengaruhi atau tergantung kepada pengalaman masa lalunya yang relevan.
c.
Insight
tergantung kepada pengaturan dan penyediaan lingkungannya.
d.
Pengertian
merupakan inti dari insight. Melalui pengertian individu akan dapat memecahkan
masalah. Pengertian itulah yang bisa menjadi kendaraan dalam memecahkan masalah
lain pada situasi yang berlainan.
e.
Apabila
insight telah diperoleh, maka dapat digunakan untuk menghadapi persoalan dalam
situasi lain. Di sini terdapat macam transfer belajar, namun yang ditransfer
bukanlah materi yang dipelajari, tetapi relasi-relasi dan generalisasi yang
diperoleh melalui insight.
Prinsip yang terdapat dalam teori
belajar gestalt berdasarkan keseluruhan. Keseluruhan itu lebih memiliki makna
dari bagian-bagian. Bagian-bagian hanya berarti apabila ada dalam keseluruhan.
Makna dari prinsip ini adalah pembelajaran itu bukanlah berangkat dari
fakta-fakta. Akan tetapi musti berangkat dari suatu masalah. Melalui masalah
itu maka siswa dapat mempelajari fakta.
1)
Anak yang belajar merupakan keseluruhan
Prinsip ini mengandung pengertian
bahwa membelajarkan bukanlah hanya mengembangkan intelektual saja, akan tetapi
mengembangkan pribadi anak seutuhnya. Apa artinya kemampuan intelektual
manakala tuidak diikuti sikap yang baik atau tidak diikuti oleh pengembangan
seluruh potensi yang ada dalam diri. Oeleh karenanya mengajar bukanlah menumpuk
memori kepada siswa dengan fakta-fakta yang begitu saja. Tetapi mengembangkan
keseluruhan potensi yang ada dalam diri aanak.
a)
Belajar
berkat insight
Belajar
akan terjadi manakala dihadapkan kepada suatu persoalan yang harus dipecahkan.
Belajar bukanlah mengahafal fakta. Melalui persoalan yang dihadapi akan
mendapatkan insight yang berguna untuk menghadapi setiap masalah.
b)
Belajar
berdasarkan pengalaman
Pengalaman
adalah kejadian yang dapat memberikan arti dan makna kehidupan setiap perilaku
individu. Belajar adalah melakukan reorganisasi pengalaman-pengalaman masa lalu
yang secara terus-menerus disempurnakan. Oleh karena itu pross pembelajaran adalah
proses memberikan pengalaman-pengalaman yang bermakna untuk kehidupan individu.
2.
Teori Medan Kognitif (Lewin)
Teori medan kognitif dikembangkan
oleh Kurt Lewin. Lewin memandang bahwa setiap individu berada di dalam medan
kekuatan yang bersifat psikologis yang disebut dengan ruang hidup (life space),
life space meliputi manivestasi lingkungan dimana siswa bereaksi, objek
material yang dihadapi, serta fungsi kejiwaan yang dimilikinya. Belajar
berlangsung sebagai akibat perubahan struktur kognitif. Perubahan struktur
kognitif itu merupakan hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan
kognitif itu sendiri, yang lain dari kebutuhan motivasi internal individu.
Teori medan kognitif ini
menjelaskan bahwa belajar adalah proses pemecahan masalah. Beberapa hal yang
berkaitan dengan proses pemecahan masalah menurut Lewin dalam belajar adalah :
a. Belajar
adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah
apabila bisa mengubah struktur kognitif.
b. Motivasi.
Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku.
Motivasi muncul karena adanya daya tarik tertentu. Disamping itu, motivasi juga
bisa muncul karena pengalaman yang menyenangkan.
3.
Teori Perkembangan Piaget
Menurut
Piaget dasar dari belajar adalah aktivitas anak apabila ia berinteraksi dengan
lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Akibatnya lingkungan sosialnya
berada diantara anak dan lingkungan fisiknya. Melalui pertukaran ide-ide dengan
orang lain, seorang anak tadinya memiliki pandangan subjektif terhadap sesuatu
yang diamatinya akan berubah pandangannya menjadi objektif. Aktivitas mental
anak terorganisasi dalam struktur kegiatan mental yang disebut skema atau dalam
bentuk jamak schemata. Skema merupakan abstraksi mental seseorang yang
digunakan untuk mengerti sesuatu atau memecahkan sesuatu atau memecahkan
masalah. Individu mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar agar
dapat membentuk kerangka pikir yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang akan
membentuk pengetahuan structural individu. Pengetahuan structural tersebut
terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antar skema-skema tersebut.
Piaget
menjelaskan bahwa struktur pengetahuan atau struktur kognitif yang dimiliki
individu terjadi karena adanya proses adaptasi. Adaptasi adalah proses
penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui dua proses yang tidak dapat
dipisahkan yaitu asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi adalah proses
menyatukan (mengintegrasian) informasi, persepsi, konsep dan pengalaman baru ke
dalam pengalaman yang sudah ada dalam struktur kognitif individu. Akomodasi
adalah penyesuaian atau penyusunan kembali skema dalam situasi yang baru.
Informasi atau pengalaman baru diasimilasikan, mungkin saja tidak cocok dengan
skema yang telah ada. Apabila dalam penyerapan informasi baru tidak cocok maka
akan terjadi disekuilibrium yaitu ketidakseimbangan yang terjadi karena
informasi yang masuk berbeda dengan struktur kognitifnya, secara sederhana
dapat dikatakan bahwa disekuilbrium terjadi jika apa yang dihadapi berbeda
dengan apa yang telah dipahami sebelumnya. Jika terjadi disekuilbrium, maka
secara alamiah individu akan berupaya mengurangi ketidakseimbangan dan
mengembangkan struktur kognitif baru atau mengadaptasikan struktur kognitif
lama sampai terjadi keseimbangan lagi. Proses mengembalikan keseimbangan ini
disebut ekoilibrasi.
Piaget
menjelaskan bahwa perkembanagn kognitif mempunyai tiga unsur yaitu :
1) Isi
Isi adalah apa yang telah diketahui
yang menunjukkan kepada tingkah laku yang dapat diamati yang mengungkapkan
aktivitas intelek. Isi intelegensi berbeda-beda dari umur ke umur dan dari anak
ke anak.
2) Fungsi
Fungsi
menunjukkan kepada sifat dari aktivitas intelektual, asimilasi, dan akomodasi
yang tetap dan terus-menerus dikembangkan sepanjang perkembangan kognitif.
3) Struktur
Struktur menunjukkan pada sifat
organisatoris yang dibentu (skemata) yang menjelaskan terjadinya perilaku
khusus.
4.
Teori Kognitif Bruner
Pendekatan
Bruner terhadap belajar didasarkan atas dua asumsi. Asumsi pertama ialah bahwa
perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif. Berlawanan dengan
paham para menganut teori behavior, Bruner yakin bahwa siswa yang belajar
berinteraksi dengan lingkungan yang secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi
dilingkungan, tetapi juga dalam diri jiwa sendiri. Asumsi kedua ialah bahwa
siswa yang mengkontruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang
masuk dengan informasi yang disimpan yang diperoleh sebelumnya. Dengan
menghadapi aspek dari lingkungan, siswa akan membentuk suatu struktur atau
model. Dengan model tersebut dapat disusun hipotesis, untuk memasukkan
pengethauan yang baru ke dalam sturktur-struktur dengan memperluas struktur itu
atau dengan mengembangkan struktur atau sub struktur baru.
Bruner
menyebutkan dalam belajar terdapat hal-hal yang mempunyai dengan kemiripan
dihubungkan menjadi suatu struktur yang memberikan arti. Dalam proses interaksi
dengan lingkungan maka siswa mengembangkan model dalam atau sistem koding untuk
menyajikan pengetahuan sebagaimana yang diketahuinya.
Menurut
Bruner, kategorisasi dapat membawa siswa ketingkat yang lebih tinggi daripada
informasi yang diberikan. Siswa menentukan objek-objek itu dengan suatu kelas
atau kelompok. Bila siswa mengklasifikasikan suatu objek, maka siswa membuat
sekumpulan sifat-sifat, atribut-atribut dan hubungan. Siwa melakukan hal
tersebut melalui inferensi, menemukan lebih banyak mengenai segala sesuatu
tentang objek tersebut.
Bruner
mengemukakan bahwa belajar melibatkan tiga proses yang berlangsung hampir
bersamaan. Ketiga proses itu adalah yang pertama memperoleh informasi baru,
yang kedua transformasi informasi, dan ketiga menguji relevansi dan ketepatan
pengetahuaan. Informasi baru dapat merupakan pengharusan dan informasi sebelumnya
yang dimiliki siswa, atau informasi itu bersifat sedemikian rupa sehingga
berlawanan dengan informasi sebelumnya yang dimiliki siswa.
Dalam
transformasi pengetahuan, seorang siswa memperlakukan pengetahuan agar cocok
atau sesuai dengan tugas baru. Jadi, transformasi menyangkut cara siswa
memperlakukan pengetahuan apakan dengan cara ekstrapolasi atau dengan mengubah
menjadi bentuk lain. Siswa menguji relevansi dan ketetapan dan pengetahuan
dengan menilai apakan cara siswa memperlakukan pengetahuan itu cocok dengan
tugas yang ada.
Bruner
menyebutkan pandangan nya tentang belajar atau pertumbuhan kognitif sebagai
konseptualisme instrumental. Pandangan ini berpusat pada dua prinsip yaitu
pertama pengetahuan siswa tentang lingkungannya didasarkan pada model-model
tentang kenyataan yang dibangunnya dan kedua model-model semacam itu mula-mula
diadopsi dari kebudayaan siswa, kemudian model-model itu diadaptasikan pada
kegunaan siswa yang bersangkutan.
Persepsi
siswa tentang suatu peristiwa merupakan suatu proses konstruktif. Dalam proses
ini, siswa menyusun suatu hipotesis dengan menghubungkan data inderanya pada
model-model yang telah disusunya, lalu menguji hipotesisnya terhadap
sifat-sifat tambahan dari peristiwa itu. Siswa itu tidak dipandang sebagai
organism aktif yang pasif, tetpi sebagai seorang yang memlilih informasi secara
aktif dan membentuk hipotesis konseptual.
5.
Teori Belajar Bermakna (Ausubel)
Ausubel
mencetuskan gagasan belajar penerimaan verbal bermakna. Ausubel menyatakan
bahwa cara belajar ini merupakan prose yang aktif karena meliputi yang pertama
analisis kognitif untuk menentukan aspek struktur kognitif yang berhubungan
dengan materi baru, kedua penyesuaian materi baru dengan struktur kognitif
yaitu mengetahui persamaan dan perbedaan antara konsep baru dan konsep yang
sudah diketahui sebelumnya, dan ketiga perumusan kembali materi belajar sesuai
dengan latarbelakang intelektual serta kosakata yang dimiliki oleh siswa.
Dalam teori belajar ini, dasar
pemikiran utama adalah bahwa konsep atau informasi baru harus berhubungan
dengan konsep yang sudah ada dalam sturktur kognitif. Oleh karena itu, Ausibel
menjelaskan faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna dan penyiapan
informasi adalah struktur kognitif itu sendiri.
6.
Teori
Belajar Gagne
Gagne menjelaskan belajar merupakan
bukan sesuatu yang terjadi secara ilmiah tetapi hanya akan terjadi dengan
adanya kondisi-kondisi tertentu yaitu kondisi yang pertama internal, yang
antara lain menyangkut kesiapan siswa dan apa yang telah dipelajari sebelumnya.
Eksternal merupakan situasi belajar dan penyajian stimuli yang secara sengaja
diatur oleh guru dengan tujuan memperlancar proses belajar. Tiap-tiap jenis
hasil belajar memerlukan kondisi-kondisi tertentu yang perlu diatur dan
dikontrol. Secara khusus, Gagne menyatakan bahwa cara berpikir seseorang
tergantung pada pertama keterampilan apa yang telah dimiliki, dan kedua
keterampilan serta hirarki apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu tugas.
a. Gagne
mengemukakan delapan fase dalam suatu tindakan belajar. Fase-fase tersebut
merupkjan peristiwa-peristiwa eksternal yang dapat distrukturkan oleh siswa
atau guru. Fase-fase menurut Gagne adalah: Fase motivasi, Fase pemahaman, Fase
perolehan, Fase pengingatan, Fase pengungkapan kembali, Fase generalisasi, Fase
penampilan, dan Fase umpan balik.
C.
Pengertian
Teori Aliran Humanistik
Teori belajar humanistic memandang
bahwa proses belajar harus berhulu dan bermuara pada manusia itu sendiri.
Menurut teori humanistik, tujuan belajara adalah untuk memanusiakan manusia.
Proses belajar dianggap berhasil jika siswa telah memahami lingkungan dan
dirinya sendiri.
Teori belajar humanistic ini
cenderung bersifat efektif dalam arti memanfaatkan teknik belajar apapun, asal
tujuan belajar siswa dapat tercapai. Dengan kata lain teori apapun dapat
dimanfaatkan asal tujuan untuk memanusiakan manusia yaitu mencapai aktualisasi
diri dapat tercapai. Dalam praktiknya teori ini antara lain terwujud dalam
pendekatan yang diusulkan oleh Ausubel dengan “belajar bermakna”.
1. Teori
Kolb
Kolb membagi tahapan belajar
menjadi empat, yaitu :
a. Pengalaman konkrit
Pada tahapan ini, seorang siswa
hanya sekedar ikut mengalami suatu kejadia. Dalam hal ini belum mempunyai
tentang hakikat kejadian tersebut dan belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu
kejadian harus terjadi seperti itu.
b.
Pengalaman
aktif dan reflektif
Pada tahapan ini, siswa melakukan
observasi aktif terhadap kejadian belajar, serta mulai berusaha memikirkan dan
memahaminya.
c.
Konseptualisasi
Pada tahapan ini, siswa mulai
belajar untuk membuat abstraksi atau teori tentang sesuatu hal yang pernah
diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu membuat aturan umum
dari berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda tetapi mempunyai
landasan aturan yang sama.
d.
Eksperimental
aktif
Pada tahap ini, siswa mampu mengaplikasikan
suatu aturan umum kesituasi baru misalnya siswa tidak banyak memahami asal usul
sebuah rumus tetapi ia mampu memakai rumus untuk memecahkan suatu masalah yang
belum pernah ia temukan.
1)
Teori
Honey dan Mumford
Honey
dan Mamford membagi empat tipe siswa yaitu :
a) Tipe aktifis
Siswa dengan tipe aktifis sika
melibatka diri pada pengalaman-pengalaman baru. Cenderung terbuka dan mudah
diajak untuk berdialog. Dalam belajar menyukai metode yang mampu mendorong
untuk menemukan hal-hal baru tetapi mereka cepat bosan dengan hal-hal yang
memerlukan waktu lama dalam implementasi.
b)
Tipe
reflector
Siswa
dengan tipe reflector sangat berhati-hati mengambil langkah. Dalam proses
pengambilan keputusan, cenderung konserpatif dalam arti mereka lebih suka
menimbang-nimbang secara cermat baik buruk suatu keputusan sebelum bertindak.
c)
Tipe teoritis
Siswa dengan tipe teoritis sangat
kritis, senang menganalisa, dan tidak menyukai pendapat atau penilaian yang
bersifat subjektif. Bagi tipe ini, berpikir secvara rasional adalah sesuatu
yang sangat penting.
d)
Tipe pragmatis
Tipe ini menaruh perhatian besar
pada aspek-aspek praktis dari segala hal. Bagi tipe ini, sesuatu dikatakan ada
gunanya dan baik hanya jika bisa dipraktikkan.
2)
Teori Haberrmas
Hubermas meyakini bahwa belajar
sangat dipengaruhi oleh interaksi baik dengan lingkungan maupun dengan sesame
manusia. Dengan asumsi ini, habermas membagi tiga tipe belajar yaitu :
a)
Belajar
teknis
Siswa
belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha
mengusai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan
pengetahuan untuk itu.
b)
Belajar
praktis
Siswa belajar berinteraksi tetapi
pada tahap ini yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara siswa dengan
orang yang ada disekelilingnya. Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap alam
tidak berhenti pada suatu pemahaman yang kering dan terlepas dari kaitannya
dengan manusia.
c)
Belajar
emansipatoris
Siswa berusaha mencapai pemahaman
dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan cultural dari suatu
lingkungan. Pemanfaatan dan kesadaran terhadap transformasi kultural dianggap
tahap belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural dianggap sebagai
tujuan pendidikan yang paling tinggi.
d) Teori
Vygotsky
Menurut vygotsky perkembangan
kemampuan seseorang dapat dibedakan kepada dua tingkat yaitu:
a.
Tingkat
perkembangan actual
Tingkat
perkembangan actual tamak dari perkembangan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas atau memcahkan berbagai masalah secara mandiri. Hal ini disebut
Vygotsky dengan kemampuan intramental.
b.
Tingkat
perkembangan potensial
Tingkat
perkembangan potensial tampak dari kemampuan seseorang untuk menyelesaikan
tugas-tugas dan memecahkan masalah ketika dibawah bimbingan orang dewasa atau
ketika berkolaborasi dengan teman sebaya yang lebih kompeten.
Jarak antara kedua kemampuan
tersebut yaitu tingkat perkembangan actual dan potensial yang disebut dengn
zona perkrmbangan progsima. Zona perkembangan progsima diartikan sebagai fungsi
atau kemampuan yang belum matang yang masih berada pada proses pematangan.
e)
Teori Carl Rogers
Rogers mengatakan bahwa siswa yang
belajar hendaknya tidak dipaksa, melainkan digiatkan belajar bebas, siswa
diharapakan dapat mengambil keputusan sendiri dan berani bertanggung jawab atas
keputusan-keputusan yang diambil sendiri. Dalam konteks tersebut, Rogers
mengemukakan lima hal dalam proses belajar humanistik yaitu :
a. Hasrat
untuk
belajar
Hasrat untuk belajar disebabkan
adanya hasrta ingin tahu manusia yang terus-menerus terhadap dunia
sekelilingnya dalam proses mencari jawabnya, seseorang mengalami aktivitas
belajar.
b.
Belajar bermakna
Seseorang yang beraktivitas akan
selalu menimbang apakah aktivitas tersebut mempunyai makna bagi dirinya. Jika
tidak tentu tidak akan dilakukannya.
c.
Belajar tanpa hukuman
Belajar yang terbebas dari ancaman
hukuman mengakibatkan anak bebas melakukan apa saja mengadakan eksperimentasi
hingga menemukan sendiri sesuatu yang baru
d.
Belajar dengan Inisiatif Sendiri
Belajar dengan inisiatif sendiri
menyiratkan tingginya motivasi internal yang dimiliki. Siswa yang banyak
berinisiatif, mampu mengarahkan dirinya sendiri, menentukan pilihanya sendiri
serta berusaha menimbang sendiri hal yang baik bagi dirinya.
e.
Belajar dan Perubahan
Dunia terus mengalami perubahan, karena
itu siswa harus belajar untuk dapat menghadapi kondisi dan situasi yang terus
berubah. Dengan demikian belajar yang hanya mengingat fakta atau menghafal
sesuatu dipandang tidak cukup.
D.
Pengertian
Aliran Konstruktivistik
Teori
konstruktivistik memahami belajar sebagai proses pembentukan pengetahuan oleh
siswa itu sendiri. Pengetahuan ada dalam diri siswa yang sedang mengetahui.
Oleh karena itu, pengetahuan merupakan hasil konstruksi yang dilakukan siswa.
Menurut aliran konstruktivistik, pengetahuan dipahami sebagai suatu pembentukan
yang terus- menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi
karena adanya pemahamn-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah kemampuan fakta
dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai kontruksi kognitif
seseorang terhadap objek, pengalaman maupun lingkungannya.
Adapun ciri-ciri belajar konstruktivistik adalah:
1. Orientasi
Siswa diberi kesempatan untuk
mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu topic dengan memberi kesempatan
melakukan observasi.
2. Elisitas
Siswa mengungkapkan idenya dengan
jalan berdiskusi, menulis, membuat poster dan lain-lain.
3. Restrukturisasi
Klarifikasi ide dengan ide orang
lain, membangun ide baru, mengevaluasi ide baru.
4. Penggunaan ide baru dalam berbagai situasi
Ide atau pengetahuan yang telah
terbentuk perlu diaplikasikan pada berbagi macam situasi.
5. Review
Dalam mengaplikasi pengetahuan
gagasan yang ada perlu direvisi dengan menambahkan atau mengubah.
Peranan guru, menurut aliran
konstruktivistik lebih sebagai mediator atau fasilitator bagi siswa, yang
meliputi kegiatan sebagai berikut :
a. Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, mengajar atau
berceramah bukanlah tugas utama guru
b. Menyediakan atau memberikan kegiatan yang merangsang
keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya.
c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah
pemikiran siswa berjalan atau tidak.
E.
Pengertian Aliran Cybernetisme
Aliran
cybernetisme memandang otak manusia aktif memproses informasi seperti halnya
teknologi informasi alat komputer, namun manusia aktif mencari bukan hanya
pasif menerima. Peserta didik menangkap rangsangan melalui pasca indranya, baik
dalam bentuk objek benda, data, maupun peristiwa kemudian memperhatikan atau
mengabaikan, memilih sebagian atau menerima seluruhnya dan membuat reaksi
dengan membuat respon-respon.
Sebagai manusia,
peserta didik mencari informasi untuk memecahkan masalah dengan cara
mengorganisasikan apa yang telah diketahui dan mensintesiskan sehingga
mengantarkannya pada kesimpulan dalam bentuk hasil belajar yang baru.
Fungsi mengajar
adalah menarik perhatian peserta didik agar pikiran, fisik, dan sikapnya
tertuju pada materi pembelajaran yang akan dibahas. Kesiapan peserta didik
untuk belajar dibangun seawal mungkin dalam suatu proses pembelajaran, misalnya
dengan mengkaitkan materi yang akan dibahas dengan materi yang sudah dikuasai
peserta didik dan lebih difokuskan kepada pemahaman bukan pada hafalan.
Pengajar perlu membantu peserta didik memisahkan bagian pelajaran yang sangat penting
dari yang kurang penting menggunakan lambing-lambang menarik.
Pengajar perlu
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengurangi materi yang
dipelajari sampai diyakini bahwa ia tidak akan melupakannya. Disamping
pengulangan, pengajar perlu menyajikan materi dengan jelas melalui uraian,
pengorganisasian materi yang runtut, dan symbol-simbol yang menarik sehingga
peserta didik terhindar dari kesalahpahaman dan mengarahkan perhatiannya pada
proses pembelajaran.
F. Metode
Student Center Learning
1.
Sistem Pembelajaran Di Indonesia
Pada
saat ini ada dua model pembelajaran pada perguruan tinggi yaitu Teacher Centered Learning(TCL) dan student
centered learning (SCL). Model pembelajaran yang dianut pada perguruan
tinggi mulai mengalami perubahan yakni dari bentuk teacher centered learning
(TCL) ke student centered learning
(SCL). Faktor pertama yang mendukung perubahan model pembelajaran di perguruan
tinggi tersebut dikarenakan adanya perubahan secara global meliputi persaingan
yang semakin ketat yang di ikuti dengan perubahan orientasi lembaga pendidikan,
yakni perubahan persyaratan kerja. Faktor kedua, karena adanya masalah yang
semakin kompleks sehingga perlu disiapkann lulusan yang mempunyai kemampuan di
luar bidang studinya.
Faktor
ketiga karena perubahan cepat disegala bidang kehidupan sehingga diperlukan
kemampuan generik atau tranferable skill.
Sedangkan faktor keempat, kurikulum lama berdasarkan SK. Mendikbud
No.056/U/1994 masih berbasis content.
Keempat
faktor diatas mendukung pengembangan perguruan tinggi dari model TCL ke SCL dan
sesuai dengan empat pilar pendidikan, yaitu learning
to know, learning to do, learning to
be, dan learning to live together.
Faktor ini mulai tampak bergerak untuk mengembangkan bahan kuliah dengan banyak
membaca jurnal atau download artikel hasil-hasil terbaru dari internet, Jika
mahasiswa mempunyai kreativitas tinggi, banyak bertanya atau sering mengajak
diskusi.
2. Pengertian
Teacher Centered learning (TCL)
Di
Indonesia sistem pembelajaran pada hamper semua program studi perguruan tinggi
masih bersifat satu arah, yaitu pemberian materi oleh dosen yang dikenal dengan
model TCL, yang ternyata membuat mahasiswa pasif karena hanya mendengarkan
kuliah sehingga kreativitas mereka kurang tertupuk atau bahkan cenderung tidak
kreatif. Pada model TCL, dosen lebih banyak melakukan kegiatan belajar-mengajar
dengan bentuk ceramah (lecturing),
sedangkan mahasiswa pada saat kuliah atau mendengarkan ceramah hanya sebatas
memahami sambil membuat catatan, bagi yang merasa memerlukannya.
Dosen
menjadi pusat peran dalam pencapaian hasil pembelajaran dan seakan-akan menjadi
satu-satunya sumber ilmu. Model ini memberikan informasi satu arah karena yang ingin
dicapai adalah bagaimana dosen bisa mengajar dengan baik sehingga yang ada
hanyalah transfer pengetahuan.
Modifikasi
model pembelajaran TCL telah banyak dilakukan, antara lain mengkombinasikan lecturing dengan Tanya jawab dan
pemberian tugas namun hasil yang dihasilkan masih dianggap belum optimal. Pola
pembelajaran dosen aktif dengan mahasiswa pasif ini mempunyai efektivitas
pembelajaran rendah paling tidak bisa dilihat pada dua hal yakni dosen sering hanya
mengejar target waktu untuk menghabiskan materi pembelajaran dan pada saat-saat
mendekati ujian, dimana aktivitas mahasiswa “berburu’ catatan maupun literature
kuliah, serta aktivitas belajar mereka mengalami kenaikan yang sangat
signifikan pula setelah ujian selesai.
Dampak
lain dari sistem pembelajaran TCL adalah dosen kurang mengembangkan bahan
kuliah dan cenderung seadanya (monoton), terutama jika mahasiswanya cenderung
pasif dan hanya sebagai penerima transfer ilmu.
3. Pengertian Student
Centered Learning(SCL)
Pada
sistem pembelajaran SCL mahasiswa dituntut aktif megerjakan tugas dan
mendiskusikanya dengan dosen sebagai fasilitator. Dengan aktifnya mahasiswa,
maka kreativitas mahasiswa akan terpupuk. Kondisi tersebut akan mendorong dosen
untuk selalu mengembangkan dan menyesuaikan materi kuliahnya dengan
perkembangan ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Kemajuan teknologi
informasi dan komunikasi yang menyediakan banyak cara untuk mendapatkan
informasi sumber belajar, memberikan peluang untuk mengembangkan metode-metode
pembelajaran baru secara optimal sehingga mendukung upaya mewujudkan kompetensi
yang diharapkan.
Kemajuan
teknologi juga memungkinkan mahasiswa melakukan kegiatan belajat tidak hanya
secara formal, tetapi belajar melalui berbagai media atau sumber. Dengan
demikian dosen bukan lagi sebagai sumber belajar utama, melainkan sebagai
“mitra pembelajaran”. Pada model pembelajaran SCL, berarti mahasiswa harus
didorong untuk memiliki motivasi dalam diri mereka sendiri kemudian berupaya
keras mencapai kompetensi yang diinginkan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara
banyak berdiskusi, maka mahasiswa akan berani mengemukakan pendapat, belajar
memecahkan masalah yang dihadapi dan tidak takut kepada dosen.
Harapannya dengan diterapkan sistem
pembelajaran SCL adalah mahasiswa aktif dan kreatif, menyelesaikan tugas akhir
dengan lancar dan tepat waktu, karena konsultasi pada dosen tidak punya rasa
takut, dengan harapan mahasiswa dapat menyelesaikan studi dengan target atau
bahkan bisa lebih cepat dari standar waktu masa studi. Selanjutnya mahasiswa
setelah lulus diharapkan mampu berkompetensi di dunia kerja.
SCL atau Student Centered Learning merupakan pendekatan dalam pembelajaran
yang memfasilitasi pembelajar untuk terlibat dalam proses experiental learning. Bila pembelajar itu dapat dikategorikan ke
dalam tipe-tipe activist, reflector, theorist, dan pragmatist, berarti
pendekatan SCL tersebut merupakan metode yang dapat memfasilitasi pembelajar,
dalam hal ini mahasiswa secara langsung ataupun tidak dapat terlibat dalam
proses pembelajaran.
Model pembelajaran SCL, pada saat
ini ini diusulkan menjadi model pembelajaran yang sebaiknya digunakan karena
memiliki beberapa keunggulan yaitu (1) mahasiswa atau peserta didik akan dapat
merasakan bahwa pembelajaran menjadi miliknya sendiri karena mahasiswa diberi
kesempatan yang luas untuk berpartisipasi (2) mahasiswa memiliki motivasi yang
kuat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran (3) tumbuhnya suasana demokratsi
dalam pembelajaran sehingga akan terjadi dialog dan diskusi untuk saling
belajar-membelajarkan diantara mahasiswa, dan (4) dapat menanmbah wawasan
pikiran dan pengetahuan bagi dosen atau pendidik karena sesuatu yang dialami
dan disampaikan mahasiswa mungkin belum diketahui sebelumnya oleh dosen.
Keunggulan-keunggulan yang dimiliki model pembelajaran SCL tersebut akan mampu
mendukung upaya kea rah pembelajaran yang efektif dan efesien (Harsono,2009; Sudjana,2005)
4. Penerapan SCL Pada Perguruan Tinggi
Penerapan SCL diperguruan tinggi
dapat diartikan sebagai kegiatan yang terprogram dalam desain FEE (faciliting, empowering, enabling), untuk
mahasiswa belajar secara aktif yang menekankan pada sumber belajar. Dengan
demikian, pembelajaran merupakan proses pengembangan kreativitas berpikir yang
dapat meningkatkan kemampuan berpikir mahasiswa, serta dapat meningkatkan dan
mengkonstruksikan pengetahuan baru sebagai upaya meningkatkan penguasaan dan
pengembangan yang baik terhadap materi perkuliahan (Dikti, 2004).
SCL adalah pembelajaran yang
berpusat pada aktivitas pembelajaran mahasiswa, bukan hanya pada aktivitas
dosen mengajar. Hal ini sesuai dengan model pembelajaran yang terprogram dalam
desain FEE. Situasi pembelajaran dalam SCL di antaranya bercirikan:
1.
Mahasiswa
belajar baik secara individu maupun berkelompok untuk mengemban pengetahuan,
dengan cara mencari dan menggali sendiri informasi dan teknologi yang
dibutuhkan secara aktif daripada sekedar menjadi penerima pengetahuan secara
pasif
2.
Dosen lebih berperan sebagai FEE dan guldes on the sides daripada sebagai mentor in the centered, yaitu membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan
mentransfernya guna menemukan solusi terhadap permasalahan nyata sehari-hari,
daripada sekedar sebagai gatekeeper of information
3.
Mahasiswa
tidak sekedar kompeten dalam bidang ilmunya, tetapi juga kompeten dalam
belajar. Artinya, mahasiswa tidak hanya menguasai isi matakuliahnya, tetapi
mereka juga belajar tentang bagaimana berajar (how learn to learn), melalui discovery, inquiry, dan problem solving
dan terjadi pengembangan.
4.
Belajar
menjadi kegiatan komunitas yang difasilitasi oleh dosen, yang mampu mengelola
pembelajaranya menjadi berorientasi kepada mahasiswa
5.
Belajar
lebih dimaknai sebagai belajar sepanjang hayat (life long learning), suatu keterampilan yang dibutuhkan dalam dunia
kerja
6.
Belajar
termasuk memanfaatkan teknologi yang tersedia, baik berfungsi sebagai alat
untuk pemberdayaan mahasiswa dalam mencapai keterampilan utuh (intelektual,
emosional, dan psikomotor) yang dibutuhkan (Randhani,2009).
Sebuah perguruan tinggi yang
menerapkan metode pembelajaran dengan model SCL mempunyai beberapa
karakteristik sebagai berikut :
a.
Adanya
berbagai aktivitas dan tempat belajar
b.
Display
hasil karya mahasiswa
c.
Tersedia
banyak materi belajar
d.
Tersedia
banyak tempat yang nyaman untuk diskusi dan bercengkrama
e.
Terjadi
kelompok-kelompok dan interaksi multi angkatan
f.
Ada
keterlibatan dunia bisnis dan masyarakat lainnya dan jam buka perpustakaan
fleksibel (Hadi,2007)
Peran dosen dalam proses pembelajaran
model SCL memiliki peran yang penting dalam pelaksanaan model ini yang meliputi
bertindak sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, mengkaji kompetensi
matakuliah yang perlu dikuasai mahasiswa di akhir pembelajara, merancang
strategi dan lingkungan pembelajaran yang dapat menyediakan beragam pengalaman
belajar yang diperlukan mahasiswa dalam rangka mencapai kompetensi yang
dituntut matakuliah, membantu mahasiswa mengakses informasi, menata dan
memprosesnya untuk dimanfaatkan dalam pemecahan masalah sehari-hari,
mengidentifikasikan dan menentukan pola penilaian hasil belajar mahasiswa yang
relevan dengan kompetensi yang akan diukur 9 Randhani, 2009).
Dalam pelaksanaan model
pembelajaran ini mahasiswa juga mempunyai peranan yang tidak kalah penting
karena mahasiswa termasuk salah satu yang ikut untuk menentukan proses
pembelajaran model ini berhasil atau tidak. Peran mahasiswa meliputi mengkaji
kompetensi matakuliah yang dipaparkan dosen, mengkaji strategi pembelejaran
yang ditawarkan dosen, membuat rencana pembelajaran untuk matakuliah yang
diikuti, belajar secara aktif (dengan cara mendengar, membaca, menulis, diskusi
dan terlibat dalam pemecahan masalah serta lebih penting lagi terlibat dalam
kegiatan berpikir tingkat tinggi, seperti analisis, sintesis dan evaluasi, baik
secara individu maupun kelompok (Hadi,2007)
Agar pembelajaran model SCL dapat
diimplementasikan secara efektif dan efesien, maka perguruan tinggi juga
mempunyai peranan, sebagai berikut:
1) Mengkaji kurikulum, program pembelajaran dan sistem
penilaian hasil belajar yang mengacu pada SCL
2) Membuat kebijakan tentang sosialisasi dan penerapan
SCL di institusinya
3) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk
terlaksananya SCL dengan menciptakan networking
dengan dunia kerja, lembaga-lembaga masyarakat, atau instansi terkait
4) Membenahi pola piker pada dosen dan pengelola program
pendidikan pada umumnya tentang pentingnya mengubah paradigm mengajar
berorientasi pada dosen semata pada pola pembelajaran yang berorientasi pada
mahasiswa yang dicirikan dengan adanya interaksi yang positif dan konsstruktif
antara dosen dan mahasiswa dalam membangun pengetahuan.
5) Melatih dan memberikan dukungan yang penuh kepada para
dosen dalam menerapkan SCL dalam proses pembelajaran.
6) Memanfaatkan perencanaan pembeajaran yang berorientasi
SCL, yang dikembangkan para dosen, dalam pengadaan sarana dan prasarana
pendukung pembelajaran.
7) Menciptakan sistem yang memungkinkan dosen dan seluruh
civitas akademika dapat berkomunikasi
dan berkoordinasi serta akses terhadap Ilmu Teknologi (IT) (Randhani,2006).
Pemahaman peran dari ketiga elemen
utama proses pembelajaran sebagaimana diuraikan diatas, akan mampu mendukung
efektivitas metode-metode pembelajaran yang masuk dalam kalsifikasi model
pembelajaran SCL. Adapun metode-metode yang dimaksud adalah small group discussion, role-play,
simulation, case study, discovery
learnig, self directed learning, cooperative learning, collaborative learning,
contextual learning, project based
learning, dan problem based leaning
and inquiry (Dikti,2009)
5. Penerapan Problem Based Learning sebagai Salah Satu
Bentuk SCL
Dari
10 metode diatas problem based learning (PBL) sudah diterapkan pada beberapa
fakultas kedokteran di Indonesia sesuai denga arahan dari Dikti. Di beberapa
Negara terutama di Inggris sudah diterapkan pada berbagai disiplin ilmu
termasuk di bidang pendidikan jasmani dan olahraga. Dari hasil penelitian
Duncan pada 2006 dan 2007 menunjukkan bahwa penerapan PBL pada pendidikan pada
pendidikan jasmani dan olahraga memberikan hasil yang baik. Peningkatan mutu
proses pembelajaran berbasis SCL dalam bentuk PBL memberikan peningkatan
suasana akademik yang sehat dan kondusif serta mempersingkat masa studi,
meningkatkan IPK, meningkatkan kemampuan problem
solving, dan mempersingkat lama waktu penyelesaian tugas akhir.
Program
pengembangan peningkatan suasana akademi yang sehat dan kondusif bertujuan
meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam penelitian, pertemuan ilmiah bersama
dosen, pengembangan kapasitas dosen di bidang penulisan dan publikasi ilmiah,
meningkatkan kuantitas dan kualitas pengabdian masyarakat dosen bersama
mahasiswa, pengembangan study club
dan media komunikasi.
6. Pendekatan
SCL Pada pembelajaran
Student
Center learning (SCL) merupakan metode pembelajaran yang memberdayakan peserta
didik menjadi pusat perhatian selama proses pembelajaran berlangsung.
Pembelajaran yang bersifat kaku instruksi dari pendidik dirubah menjadi
pembelajaran yang memberi kesempatan pada peserta didik menyesuaikan dengan
kemampuannya dan berperilaku langsung dalam menerima pengalaman belajarnya.
Landasan
pemikiran dari SCL adalah teori belajar konstruktivis (Weswood Petter,2008:26).
Prinsip teori konstruktivis berasal dari teori belajar yang dikembangkan oleh
Jean Piaget (1983), Jerome Brewner (1961), dan John Dewey (1933), yaitu
memusatkan proses pembelajaran pada perubahan perilaku peserta didik itu
sendiri dan dialami langsung untuk membentuk konsep belajar dan memahmi. Selanjutnya,
konsep pengalaman belajar dari segitiga Dale membuktikan bahwa belajar memahami
sendiri pada kondisi nyata atau sebenarnya dan mengendalikan proses belajarnya
merupakan pemenuhan pengalaman belajar yang lebih baik disbanding belajar
dengan mengamati.
Pendekatan metode SCL (student center learning)
mempunyai ciri-ciri antara lain :
1.
Peserta
didik harus aktif terlibat dalam proses belajar yang dipicu dari motivasi
instrinsik
2.
Topik,
isu, atau subjek pembelajaran harus menarik dan memicu motivasi insintrik.
3.
Pengalaman
belajar diperoleh melalui suasana yang nyata atau sebenarnya dan relevan dengan
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dan digunakan ditempat kerja
Pembelajaran praktek dipoliteknik
tujuannya untuk memberi pengalaman belajar peserta didik agar menguasai
keterampilan bidang keahlian tertentu. Penguasaan keterampilan baik
keterampilan yang bersifat fisik, maupu intelektual melibatkan aktivitas
peserta didik secara langsung menggunakan peralatan yang sejenis dengan
perlalatan sebenarnya selama proses pembelajaran berlangsung. Penggunaan
peralatan dalam suasana belajar yang sesuai dengan kondisi nyata atau
sebenarnya didunia kerja dan penggunaan strategi demonstrasi untuk
penyampaiannya menunjukkan ciri-ciri pembelajaran SCl. Tiga aspek dalam
pembelajaran yang menuntut kinerja keterampilan adalah motorik, persepsual, dan
kognitif (Kevin O’Neil,1997:76)
7. Metode Pembelajaran Dalam Student Centered
Learning(SCL)
Pada
edisi sebelumnya telah dipaparkan konsep SCL. Sudah dipaparkan pula manfaat
konkrit jika kita menerapkan SCL. SCL diperlukan karena konsekuensi penerapan
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), proses pembelajaran yang sesuai dengan
SCL. SCL juga diperlukan untuk mengantisispasi dan mengakomodasi perubahan
dalam bidang sosial, politik, ekonomi, teknologi dan lingkungan yang
menyebabkan informasi dalam buku teks dan artikel-artikel yang ditulid lebih
cepat kadaluarsa.
Selain
iu, dimasa mendatang, dunia kerja membutuhkan tenaga kerja yang berpendidikan
baik, yang mampu bekerja sama dalam tim, memiliki kemampuan memecahkan masalah
secara efektif, mampu memproses dan memanfaatkan informasi, serta mampu
memanfaatkan teknologi secara efektif dalam pasar global, dalam rangka
meningkatkan produktivitas. Oleh sebab itu, proses pembelajaran harus
difokuskan pada pemberdayaan dan peningkatan kemampuan mahasiswa dalam berbagai
aspke ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Mahasiswa sebagai subjek
pembelajaran, yang perlu diarahkan untuk belajar secara aktif membangun
pengetahuan dan keterampilannya dengan cara bekerjasama dan berkolaborasi
dengan berbagai pihak terkait.
Untuk
dapat menerapkan SCL ini dengan baik, sebelumnya kita akan bahas satu-persatu
metode-metode tersebut.
a.
Small Group Discussion
Diskusi
merupakan salah satu elemn belajar secara aktif dan merupakan bagian dari
banyak model pembelajaran SCL yang lain seperti CL, CBL, PBL dan lain-lain. Di
dalam kelas atau tutorial kita dapat meminta para mahasiswa untuk membuat
kelompok kecil untuk mendiskusikan bahan yang dapat diberikan oleh dosen atupun
bahan yang diperoleh sendiri oleh anggota kelompok tersebut.
Metode
ini dapat digunakan ketika akan menggali ide, menyimpulkan pon penting,
mengakses tingkat skill dan pengetahuan mahasiswa, mengkaji kembali topic
dikelas sebelumnya, membandingkan teori, isu dan interprestasi, dapat juga
untuk menyelesaikan masalah.
Mahasiswa
akan belajar untuk menjadi pendengar yang baik, berkerjasama untuk tugas
bersama, memberikan dan menerima umpan balik yang konstruktif, menghormati
perbedaan pendapat, mendukung pendapat dengan bukti, serta menghargai sudut
pandang yang bervariasi.
b.
Simulation
Simulasi
adalah model membawa situasi yang mirip dengan sesungguhnya ke dalam kelas.
Misalnya simulasi sebagai seorang manajer atau pemimpin, mahasiswa diminta
untuk membuat perusahaan fiktif, kemudian di minta untuk berperan sebagai
manajer atau pemimpin dalam perusahaan tersebut.
Simulasi
ini dapat berbentuk permainan peran (role playing). Simulasi ini sendiri dapat mengubah
cara pandang mahasiswa dengan cara mempraktekkan kemampuan umum, mempraktekkan
kemammpuan khusus, mempraktekkan kemampuan tim, mengembangkan kemampuan
menyelesaikan masalah, dan mengembangkan kemampuan empati
c.
Discovery
learnig (DL)
DL
adalah metode belajar yang difokuskan pada pemanfaatan informasi yang tersedia,
baik yang diberikan dosen maupun yang dicari sendiri oleh mahasiswa, untuk
membangun pengetahuan dengan cara belajar mandiri.
Metode
ini dapat dilakukan misalnya dengan memberikan tugas-tugas kepada mahasiswa
untuk memperoleh bahan ajar dari sumber-sumber yang dapat diperoleh melalui
internet atau melalui buku, Koran, dan majalah.
d.
Self
Directed Learning (SDL)
SDL
adalah proses belajar yang dilakukan atas inisiatif individu sendiri. Mahasiswa
sendiri yang merencanakan, melaksanakan dan menilai sendiri terhadap pengalaman
belajar yang telah dijalani, dilakukan semuanya oleh individu yang
bersangkutan.
Peran
dosen dalam metode ini hanya bertindak sebagai fasilitator, yang memberi
arahan, bimbingan dan konfirmasi terhadap kemajuan belajar yang telah dilakukan
mahasiswa tersebut.
Manfaat
dari metode ini adalah menyadarkan dan memberdayakan mahasiswa, bahwa belajar
adalah tanggung jawab mereka sendiri. Mahasiswa didorong untuk bertanggung
jawab terhadap semua fikiran dan tindakan yang dilakukannya.
Untuk
dapat menerapkan metode ini, sebelumnya kita harus dapat memenuhi asumsi bahwa
kemampuan mahasiswa semestinya bergeser dari orang yang tergantung pada orang
lain menjadi individu yang mampu belajar mandiri.
e.
Cooperative
Learning(CL)
CL
merupakan metode belajar kelompok yang dirancang oleh dosen untuk memecahkan
suatu masalah atau kasus. Kelompok ini terdiri dari atas beberapa orang
mahasiswa yang memiliki kemampuan akademik yang beragam.
Metode
ini sangat terstruktur, karena pembentukan kelompok, materi yang dibahas,
langkah-langkah diskusi serta produk akhir yang harus dihasilkan, semuanya
ditentukan dan dikontrol oleh dosen. Mahasiswa hanya mengikuti prosedur diskusi
yang dirancang oleh dosen. CL bermanfaat untuk membantu menumbuhkan dan
mengasah kebiasaan belajar aktif pada diri mahasiswa, rasa tanggungjawab
individu dan kelompok mahasiswa, kemampuan dan keterampilan bekerjasama antara
mahasiswa, dan keterampilan sosial mahasiswa.
f.
Contextual
Instruction (CI)
CI
adalah konsep belajar yang membantu dosen mengaitkan isi mata kuliah dengan
situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari dan memotivasi mahasiswa untuk
membuat keterhubungan antara pengetahuan dan aplikasinya dalam kehidupan
sehari-hari sebagai anggota masyarakat, pelaku kerja professional atau
manajerial, entrepreneur, maupun investor.
Contoh
apabila kompetensi yang dituntut matakuliah adalah mahasiswa dapat menganalisis
faktor-faktor yang mempengaruhi proses transaksi jual beli, maka dalam pembelajaranya,
selain konsep transaksi ini dibahas dalam kelas, juga diberikan contoh dan
mendiskusikanya. Mahasiswa juga diberi tugas dan kesempatan untuk terjun
langsung dipusat-pusat perdagangan untuk mengamati secara langsung proses
transaksi jual beli tersebut.
g.
Collaborative
Learning(CbL)
CbL
adalah metode belajar yang menitikberatkan pada kerja sama antar mahasiswa yang
didasarkan pada consensus yang dibangun sendiri oleh anggota kelompok. Masalah
dan tugas atau kasus memang berasal dari dosen dan bersifat open ended, tetapi pembentukan kelompok
yang didasarkan pada minat, prosedur kerja kelompok, penentuan waktu dan tempat
diskusi atau kerja kelompok, sampai dengan bagaimana hasil diskusi yang ingin
dinilai oleh dosen, semuanya ditentukan melalui consesnsus bersama antar
anggota kelompok.
h.
Project-based
Learning (PjBL)
PjBL
adalah metode belajar yang sistematis, yang melibatkan mahasiswa dalam belajar
pengetahuan dan keterampilan melalui proses pencarian, penggalian yang panjang
dan terstruktur terhadap pernyataan yang otentik dan kompleks serta tugas dan
produk yang dirancang dengan sangat hati-hati.
i.
Problem-based
Learning/Inquiry (PBL/I)
PBL/I
adalah belajar dengan memanfaatkan masalah dan mahasiswa harus melakukan
pencarian informasi untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Pada umumnya terdapat
empat langkah yang perlu dilakukan mahasiswa dalam PBL/I yaitu:
1)
masalah
Menerima masalah yang relevan dengan salah satu/beberapa kompetensi yang
dituntut mata kuliah, dari dosennya
2)
Melakukan
pencarian data dan informasi yang relevan untuk memecahkan masalah
3)
Menata
data dan mengaitkan data dengan masalah
4)
Menganalisis
strategi pemecahan
8. Manfaat SCL (Student Centered Learning)
1) Meningkatkan prestasi serta kemampuan mahasiswa dalam
dasar-dasar pembelajaran
2) Meningkatkan peran dosen dan mahasiswa dalam proses
pembelajaran
3) Meningkatkan keterampilan mahasiswa dalam belajar
mandiri agar dapat mempelajari hal-hal lain lebih lanjut secara mandiri
sehingga mahasiswa menjadi pembelajar seumur hidup(lifelong leaners)
4) Meningkatkan soft skill mahasiswa, yang meliputi :
a)
Kemauan
untuk berkerja keras, tidak sekedar pasif dalam belajar
b)
Kemampuan
bekerja mandiri, karena peran dosen hanya sebagai tutor, mahasiswa dituntut
belajar mandiri berdasarkan arahan yang diberikan.
c)
Kemampuan
bekerja dalam tekanan
d) Kemampuan berpikir analitis, dalam praktikum mahasiswa
akan membuat analisa-analisa penting dalam membangun perusahaan
e)
Kemampuan
mahasiswa berdiskusi secara logid dan bertanggung jawab (memformulasikan
pertanyaan yang berkualitas tentang suatu subjek, menjawab pertanyaan menggunakan
berbagai metode, mengungkapkan pendapat dan berargumentasi secara logis,
kejujuran dalam menilai jawaban atas pertanyaan sendiri maupun pertanyaan
teman, kemampuan untuk menerima dan mengelola perbedaan pendapat).
f)
Meningkatkan
kemampuan technopreneurship
mahasiswa. Hal ini diperoleh dengan praktikum.
Terimakasih.. tulisannya sangat bermanfaat..
BalasHapusMy blog